Dari Dialog Budaya Remaja
"Baju
Adik" Tatakrama Non Islami
Banyak tatakrama dalam masyarakat Aceh yang sesungguhnya bukan
budaya Aceh --bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam sebagai
agama mayoritas di daerah Serambi Mekkah. Misalnya, cara
berpakaian yang disebut "baju adik" istilah pakaian ketat,
tanktop dan pakaian yang menampakkan lekuk tubuh seorang wanita.
Begitu juga budaya bentuk tradisi, seperti pemasangan janur
dalam setiap perhelatan/perkawinan, sesungguh akibat pengaruh
budaya Hindu atau budaya non Islami yang kini menjadi trend
dalam masyarakat akibat pemahaman agama dan kultrul yang
dangkal.
Demikian berbagai gagasan yang terangkat dalam dialog bertema
"tatakrama budaya Aceh", Kamis (14/11/2002) lalu. Kegiatan yang
diikuti pelajar, mahasiswa dan kaulamuda itu berlangsung di
mushalla Pesantren Modern Terpadu al-Furqan, Bambi Sigli, dan
difasilitasi PW Pelajar Islam Indonesia bekerjasama dengan Dinas
Kebudayaan NAD. Acara itu juga diisi dengan pertunjukkan seorang
seniman alam, Udin Pelor yang kini mendapat gelar Abu Udin
Samalanga itu. Tentang tatakrama budaya Aceh yang islami yang
menjadi sorotan peserta dialog --saat ini malah semakin hilang
ketika daerah ini diberikan otoritasnya untuk menerapkan Syariat
Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.
Padahal keberadaan Aceh tidak bisa bisa dipisah dari sistem yang
dianutnya dengan ajaran Islam, bukan saja dalam hubungan
transendental (agama) tapi juga dalam tatanan adat, budaya dan
tradisi masyarakat Aceh yang bernafaskan Islami. Seperti
ungkapan dalam bahasa Aceh "adat ngon agama lagee zat ngon
sifeut (adat dengan agama bagaikan zat dengan sifatnya)".
Wakil Dinas Kebudayaan NAD A Mudy AE yang hadir dalam dialog itu
mengatakan adat Aceh selain berinprirasi dari ajaran Islam juga
terjadi alkulturasi dengan agama lain. Dari dari agama Hindu,
misalnya, dikenal adanya perayaan "Rabu Abeh" yang dirayakan
masyarakat ketika bulan Safar, acara sesajian atau janur pada
acara perkawinan. "Adat dan budaya yang tak sesuai dengan ajaran
Islam itu akan dihilangkan," ujarnya.
Bergeser bahkan terjadinya penghilangan karakter Aceh yang
Islami, karena pengaruh budaya asing (budaya barat). Sementara,
masyarakat sendiri tidak memiliki ketahanan budaya dan agama,
terutama kaula muda Aceh. Hal itu terlihat dari tata pergaulan
remaja, tatabusana wanita anak Aceh, dan hal-hal lain yang tidak
mencerminkan ke-Acehan. Fenomena itu tidak saja melanda
anak-anak (generasi) di kota tapi juga telah merambat ke
desa-desa di Aceh. Salah satu sorotan adalah soal
jilbab/kerudung yang saat ini juga masih menjadi perdebatan
setelah adanya instruksi pemerintah daerah mewajibkan jelbab
sebagai menandai dideklasikannya syariat Islam di Aceh.
Peserta dialog menilai, pemerintah sendiri kurang komit terhadap
kebijakannya. Terbukti di Banda Aceh, ibukota provinsi --suasana
mencerminkan islami itu belum bisa tercipta. Bahkan tindakan
kaula muda saat ini yang lebih berani, bukan sebatas tak
mengenakan busana muslim, tetapi cenderung melecehkan Islam.
Misalnya, berani berpelukan di depan umum yang nyata-nyata
bukanlah muhrim. Suatu keprihatinan ketika hasil investigasi
sebuah lembaga yang mengungkapkan hampir 50 persen remaja di
Aceh melakukan hubungan diluar nikah.
Internet
Salah satu yang dikemukakan, adalah sistem informasi global,
seperti internet yang setiap saat bisa diakses tanpa ada
batas-batas wilayah dan keyakinan. Perkembangan teknologi ini
pada satu sisi sangat positif sedangkan disisi lain dapat
mengakibatkan dekadensi moral, terutama generasi muda. Saat ini
di kota Banda Aceh, Lhoksemawe dan beberapa kota lain yang dapat
menggunakan fasilitas internet, terdapat puluhan warung internet
(warnet) yang tersebar di kota-kota itu dengan menawarkan
berbagai fasilitas. Salah satu fasilitas yang ditawarkan adalah
privacy bagi pengguna internet untuk mengakses informasi apapun
yang diingininya tanpa ada intervensi dari pengelola warnet.
Oleh karena itu pengelola warnet membuat sekat-sekat pada kamar
warnet. Jadi seseorang netter tidak dapat melihat apa yang
dilakukan oleh netter yang lain. Sehingga kontrol sosial pun
tidak dapat berfungsi lagi. Dan akibat dari hal ini dapat kita
prediksikan. Pengguna internet bebas berinternet ria, bahkan
membuka situs-situs "XXX" istilah untuk situs porno di internet
yang seharusnya tidak dibuka oleh seseorang seusia mereka.
Memang itu tergantung niat seseorang. Tapi menurut prinsip
kejahatan, ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan,
Niat (N) dan Kesempatan (K)kesempatan sudah ada kadang-kadang
niat bisa timbul dengan sendirinya.
Kaset-kaset VCD yang tidak senonoh pun dapat kita jumpai beredar
bebas di masyarakat, khususnya masyarakat pelajar dan mahasiswa.
Bahkan anak-anak pun dapat dengan bebas menyaksikan sajian
khusus dewasa ini. Di Jakarta menurut penuturan beberapa sahabat
penulis VCD esek-esek ini dijual sangat murah bahkan dengan uang
limaribu rupiah kita dapat membawa pulang tiga VCD. Dan ini
dijual di kaki lima!
Budaya mengaji
Dulu kalau sudah waktu maghrib, di dayah, rumah-rumah penduduk
di kampung-kampung dan di "rangkang-rangkang" sering kita dengar
alunan ayat suci Al Quran, tapi sekarang hal ini jarang kita
dengar lagi. Sekarang alunan ayat-ayat Al Quran tersebut telah
tergantikan atau memang "digantikan" dengan alunan merdu
suara-suara artis di televisi atau kuis dan sinteron lain.
Dinas Kebudayaan NAD mengatakan perlunya membentuk kelompok
masyarakat peduli untuk melestarikan kebudayaan Aceh. Solusi
lain ada sikap pemerintah terhadap sarana umum yang memberi
peluang terjadinya dekadensi moral, seperto wartnet harus
membuat sekat-sekat untuk kontrol sosial. Mungkin Aceh harus
banyak belajar dari Malaysia yang begitupesat teknologinya, tapi
tidak kehilangan budaya Melayu yang islami.(SI/Muchsin)
Kembali ke Index>>> |