Untuk
Menyelesaikan Konflik Aceh
Belajarlah
dari Snouch Hurgronje
(28/10/2002)
RIAU-ACEH
- Prof Suwardi dari Universitas Riau sedang
menjelaskan hubungan budaya Melayu Riau-Aceh pada
acara Seminar Antar Bangsa Kajian Budaya
Melayu-Aceh di Museum Aceh yang diselenggarakan
oleh PUSMA, Minggu (27/10/2002).
Foto-HELMI HASS
BANDA
ACEH - Melupakan pendekatan budaya melalui
pemahaman karakter masyarakat, menjadi salah satu
faktor sulitnya menyelesaikan konflik di Aceh.
"Sebenarnya, cara yang diterapkan Snouck
Hurgronje, bisa dipakai. Dan kita optimis konflik
akan bisa diakhiri," kata dua pakar sejarah
Aceh-Melayu pada acara seminar internasional
budaya Melayu-Aceh, Minggu (27/10).
Zakarya
Ahmad, pakar sejarah Aceh dan Prof Dr Suwardi MS,
Ketua Lembaga Adat Melayu-Riau, senada mengatakan,
berbagai konflik yang kini terjadi di sejumlah
daerah, lebih disebabkan penanganannya yang
cenderung menggunakan pendekatan
"kekerasan" dan melupakan budaya serta
karakter masyarakat setempat.
"Cara-cara
yang ditunjukkan selama ini, belum menyentuh
substansi. Padahal, Belanda yang jelas tidak
serumpun dan penjajah dalam perluasan ketajaman
politiknya, selalu mempelajari karakter
masyarakat. Seperti dilakukan Snouck Hurgronje,
sehingga ia dapat menanamkan simpati
masyarakat," kata Zakarya Ahmad, sejarawan
yang juga mantan Kepala Museum Aceh itu.
H
Zakarya Ahmad yang membedah makalah tentang Melihat
Diri Sendiri dalam Karya Snouck Hurgronje yang
ditulis Prof Dr Zakarya Ali (Pusat Pengajian Seni
Pulau Pinang), menggambarkan, kalau Snouck
mempelajari watak orang Aceh dengan tujuan
memecah-belah persatuan bangsa, sekarang dapat
ditiru dalam memahami karakter orang Aceh bagi
upaya pembauran dan penyatuan. "Ada hal
positif yang menjadi bahan penyelidikan. Seorang
Snouck bisa disenangi orang Aceh karena pendekatan
budaya karakter yang diterapkannya,"
paparnya.
Zakarya
Ahmad menggambarkan tentang Pang Jakfar -- masih
keluarganya di Blangpidie -- yang ketika itu masih
seorang pejuang Muslimin (pemberontak) Belanda.
Pang Jakfar disergap, dan karena sadar dia tidak
punya surat badan (KTP-red), ia menyerah. Tapi,
oleh serdadu Belanda ternyata tidak menahan Pang
Jakfar, melainkan menyuruhnya ke kantor Belanda
untuk membuat Surat Badan. "Itu Belanda yang
kafir dan penjajah. Dan Pang Jakfar jelas
pemberontak, tapi tidak ditangkap, melainkan
dibuatkan KTP. Bagaimana kita sekarang sebagai
bangsa serumpun, sesama Muslim lagi," ujarnya
mempertanyakan.
Menurutnya,
pendekatan humanistik dan agamais serta memahami
karakter orang, dapat menyelesaikan persoalan. Hal
itu telah dilakukan oleh para pemimpin negeri
dalam setiap babakan pergolakan di Aceh dulu.
"Membangun empati menjadi solusi, bukan
mempertajam perselisihan, lebih penting menegakkan
keadilan," timpal Prof Dr Suwardi MS.
Prof
Suwardi, guru besar Universitas Riau yang
menyajikan makalah tentang Hubungan Melayu
Riau-Aceh, mengatakan adanya "benang
merah" sejarah dan budaya kedua daerah yang
selama ini menjadi sumber devisa terbesar Republik
Indonesia. "Aceh-Riau adalah sanak sekandung
dilihat dari nazabnya," katanya.
Hubungan
itu, kata Suwardi, didasarkan sejarah tradisional
tentang masyarakat di negeri Melayu yang diungkap
dalam Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu,
Hikayat Siak, Hikayat Negeri Johor dan sumber
sejarah lainnya, termasuk sumber asing seperti
"Belanda di Johore dan Siang 1602-1865"
oleh E Netscher.
Disebutkan,
hikayat Raja-raja Pasai dibagi tiga. Pertama,
tentang asal-usul Kerajaan Samudera Pasai dan
zaman keagungannya. Kedua, tentang kehandalan Tun
Beraim Bapa, kematiannya dan detik Pasai mulai
merosot. Ketiga, kisah Ratu Majapahit yang
berahikan Tun Abdul Jalil.
"Hikayat
Pasai menyebut Negeri yang takluk kepada Ratu
Negeri Majapahit kepada zaman pecahnya negeri
Pasai, ratunya bernama Ahmad, 1) Negeri Tambelan,
2) Negeri Jemaja, 3) Negeri Siantan, 4) Negeri
Banguran, 5 Negeri Serasan. Negeri-negeri itu
merupakan negeri di Puluh tujuh Natuna yang pada
saat Kerajaan Johor-Riau dan Linga menjadi
wilayahnya. Juga Raja Pasai dalam catatan Mongol
oleh Yuen Shih (1282)," papar Suwardi.
Disebutkan
juga dalam Riwayat Merah Silu, episode mencari
isteri untuk Malikul Salleh di Perlakm tentang
kedatangan Islam ke Pasai, penyerangan dan
penaklukan Siam ke Pasai. "Ada persamaan dan
ciri kesejarahan tentang masuk Islamnya Merah Silu
atau Malikul Salleh sebagaimana diutarakan
Collingwood," ujar Prof Suwardi sambil
menyebut sumber sejarah kedua adalah sejarah
Melayu atau Sulassalatin.
Begitu
juga hikayat Siak meriwayatkan kisah dari
Raja-raja Siak di Sumatera yang membuktikan
tradisi kedaultan dan pertalian Aceh-Melayu Riau.
"Itu semakin kelihatan dari perkembangan
Islam di Nusantara sebagai agama kerajaan di dua
negeri yang dibawa ulama-ulama dari Aceh. Tentang
dakwah Islam dan sampai ke Pekanbaru (Senapelan)
dan terdapat nama tempat yaitu Sail, suatu nama
negeri di Pekanbaru yang berasal dari kosakata
bahasa Arab yang artinya padang pasir, ada negeri
bernama Bangsal Aceh di Dumai, pemakaman Aceh di
Sedinginan, Tanah Putih di Kabupaten Rokan Hilir
sekarang sebelumnya wilayah Kerajaan Siak,"
paparnya lagi.
Menurut
Prof Suwardi, sangat banyak persamaan dan benang
merahnya antara Aceh-Riau, termasuk sekarang
sama-sama berjuang melawan ketidakadilan.
"Riau sangat berhutang budi sama Aceh. Namun,
kedua daerah ini sangat toleran termasuk memberi
sumbangan besar bagi republik. Cuma selama ini
hanya dihitung dan belum diperhitungkan dalam
keadilan," ujarnya.
Sementara
itu, Tuanku Lucman Sinar Basarsyah II SH dari
Universitas Sumatera Utara (USU), Medan,
mengatakan, tempo dulu, bahasa Malayu telah
menjadi bahasa kedua dan bahasa istana di Aceh.
Pada masa itu, banyak orang Melayu dari Kedah,
Malaka, dan Perak pindah ke Aceh. Dalam bahasa
Aceh banyak sekali pengaruh bahasa Melayu,
meskipun diucapkan dalam logat Aceh. Bahasa Aceh
boleh dikatakan satu bahasa dari dialek Melayu.
William
Mardeson, pengarang buku The History of
Sumatera ketika berada di Bengkulu pernah
mengumpulkan 36 buah contoh kata-kata Aceh dan
hampir 75 persen merupakan persamaan dengan bahaya
Melayu. Dengan bersatunya negeri-negeri Melayu di
sepanjang Selat Malaka dan Laut Cina Selatan pada
masa Sultan Iskandarmuda, maka bahasa Melayu yang
menjadi lingua franca (bahasa pergaulan) di
nusantara itu, tentu menjadi bahasa resmi Kerajaan
Aceh Darussalam.
"Ketika
agama Islam masuk, bahasa Arab dan Persia
diterjemahkan dalam bahasa Melayu di Aceh dan
disebarkan ke seantero nusantara, telah masuk
pengaruh Aceh ke negeri-negeri Melayu,"
paparnya.
Seminar
kajian budaya Melayu-Aceh yang kemarin berakhir,
berlangsung dengan berbagai pandangan dari
peserta. Salah satunya, menggagas perlunya
membangun kembali keserumpunan Melayu dalam
pembauran bangsa. Seperti menghidupkan tradisi dan
budaya Melayu yang Islami dalam kehidupan
keseharian masyarakat.
Begitu
juga perlu mengangkat kembali sejarah Melayu-Aceh
sebagai salah satu muatan lokal di lembaga
pendidikan. Sebab, nilai-nilai tradisi Melayu-Aceh
masih relevan dikembangkan kembali pada zaman
modern saat ini, apalagi dalam mendukung
pelaksanaan Syariat Islam di Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam (NAD).(puh)
Kembali
ke Index>>>
|