PUSMA Online

 

PUSAT STUDI MELAYU-ACEH

www.pusma.8m.net

 Artikel
 Puisi
 Prosa
 Galeri Foto
 Sahabat
 Agenda

Dari Seminar Budaya Melayu-Aceh
Mencari Budaya Asli yang Hilang

Peserta sedang mengikuti seminar di Museum Aceh, Banda Aceh

ACEH sebagai bagian kompleksitas dunia Melayu nusantara, tidak bisa dipisahkan dengan budaya Islami. Namun dalam perkembangannya sekilas peradaban barat telah menyerang dan menghilangkan --paling tidak memudarkan-- identitas Melayu. Dalam konteks ini, terjadinya degradasi budaya Melayu Aceh satu sisi karena kesadaran budaya yang rendah. Sisi lain serangan budaya bersifat global -meminjam MCLuhan-- yang mau tidak mau harus diserap oleh siapa saja yang kini hidup. 

Budaya asli Aceh sebagai bagian dari dunia Melayu kembali digali dalam Seminar Internasional Budaya Melayu-Aceh yang diselenggarakan Pusat Studi Melayu-Aceh (PUSMA) Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sabtu (26/10/2002). Seminar yang dihadiri pakar budaya dan seniman dimaksudkan untuk mengkaji Aceh dan aspek-aspek Melayu dari masyarakat dan budayanya --dalam ikatan sejarah, bahasa dan seni serta nilai-nilai sosial budaya lainnya.

Prof DR Darwis A Sulaiman MA, Ketua PUSMA NAD dalam sambutan awalnya secara lugas mengatakan, masyarakat Aceh sedang dalam "transisi" yang ditandai matinya tradisi dan hilangnya harga diri melayu Aceh yang notabene Muslim. Kondisi itu sebagai akibat keroposnya benteng pertahanan budaya. Sehingga budaya asli Aceh mengalami degradasi dan dehumanisasi. Adanya perasaan lost of identity kalangan generasi melayu Aceh sehingga mencari identitas lain atau menjiplak budaya lain. 

Kecenderungan masyarakat Aceh terhadap budaya luar (non- Islami), menurutnya, merupakan refleksi kekalahan mereka dalam sebuah pertarungan mempertahankan identitas dirinya. "Padahal budaya Aceh asli adalah Melayu dan tidak bisa dipisahkan dari ruh budaya Aceh itu adalah Islam," papar Nurdin Daoed, pakar seni tradisi yang juga Dosen senior Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang tampil sebagai salah seorang penyaji

Menurut Darwis, kebudayaan memiliki sistem nilainya sendiri yang disebut nilai budaya masyarakat itu. Nilai itu dipengaruhi lingkungan yang melatari pemikiran dan sikap seseorang. Begitu juga masyarakat Aceh yang menggambarkan ciri budaya Melayu-Aceh yang tumbuh dan diwarisi secara generasi oleh masyarakatnya.

Namun, kebudayaan asli Aceh tidak dikenal lagi akibat percampuran budaya melalui proses difusi dan alkulturasi. "Kalaupun kebudayaan asli masyarakat Aceh itu, adalah kebudayaan Melayu. Karena Aceh bagian dunia Melayu," kata guru besar bidang ilmu pendidikan FKIP Universitas Syiah Kuala itu.

Budaya Melayu juga tidak dapat disebut asli lagi karena kemudian dipengaruhi budaya Hindu, Islam dan Barat. Dan cara hidup orang Aceh sangat dipengaruhi Islam, sehingga sebagaimana orang melayu pada umumnya, orang Aceh sering diidentikkan dengan orang-orang yang beragama Islam.

Islam salah satu jatidiri orang Aceh. Ini menjadi ruh dan karakter budaya Melayu Aceh masa lampau yang bercirikan Islam, bukan budaya masyarakat Aceh dalam zaman modern saat ini. Hal itu terlihat dari karya-karya seni sastra (pribahasa, pantun, hikayat, fabel, narit maha, dll.) yang banyak mengandung nilai budaya yang sudah mentradisi dalam masyarakat Aceh.

Relevansi budaya Melayu-Aceh juga ditegaskan Nurdin Daoed yang membahas "Roh Kesenian Aceh". Menurutnya, kesenian sebagai salah satu unsur universal dari kebudayaan adalah ekspresi hasrat manusia tentang keindahan. Juga pandangan kesenian yang tak selalu terkait dengan keindahan -- yang disebutnya sebagai gejala kesenian atau bagian dari ritual.

Yang jelas, kata Nurdin, kesenian merupakan "ruang" tempat bersemayamnya "pikiran" dan "rasa" yang melahirkan keseimbangan dalam diri manusia -- termasuk keseimbangan dalam hal kekuasaan, di tengah kehidupan sosialnya. "Penataan kehidupan sosial tak cukup dengan rasio saja ataupun rasa saja, tetapi harus saling melengkapi," kata dosen IKJ Jakarta itu.

Dalam kontek Aceh, maka keseniannya selalu dilatari lingkungan dan kultur masyarakatnya dimana seni itu tumbuh dan berkembang. Artinya, nilai-nlai dalam masyarakat selalu terintenaliasikan dan menjadi "ruh" keseniannya. "Akan tetapi karena perubahan keadaan proses internalisasi bisa tidak berjalan dan nilai-nilai mulai bergeser atau hilang," papar Nurdin Daoed.

Seminar dua hari yang diikuti budayawan Aceh-Melayu, selain dihadiri pakar adat-budaya Melayu Sumatera juga dari Semenanjung Malaysia, menjadi penting sebagai mengkaji kembali nazab orang-orang Aceh. Seperti dikutip dalam pidato pembukaan Gubernur NAD yang dibacakan Kadis Kebudayaan Aceh, Drs Sofyan Muchtar, tentang pendapat ulama terkenal Teungku Kuta Karang, bahwa orang Aceh sekarang merupakan hasil percampuran dengan berbagai bangsa lain atau keturunan interrasial (berbagai suku bangsa).

Kedatang Islam ke Aceh, papar Gubernur, telah melenyapkan pengaruh Hindu, dan kedatangan islam meninggalkan pengaruh sangat mendalam, dan turut mengundang orang Arab, Turki dan Persia. "Orang Aceh adalah percampuran orang Aceh asli dengan orang Arab, Parsi, dan Turki. Itu sesuai dengan pengaruh kerajaan-kerajaan Romawi dan Phunicia yang juga sampai ke Aceh. Pengaruh kerajaan Aceh abad ke-16 hingga 18 yang menjangkau ke Semenanjung Melayu dan daerah lain di Indonesia, menyebabkan terjalinnya kembali hubungan antara orang Aceh dengan masyarakat di Semenanjung Melayu," paparnya.

Ia menyebut contoh hubungan Aceh dengan Negeri Kedah yang sudah berlangsung cukup lama yang membuat terjadi percampuran darah. "Sesudah Kedah berada dibawah kekuasaan Kerajaan Aceh tahun 1619, banyak orang Kedah yang datang ke Aceh dan sebaliknya. Maka di Aceh ada kampung Kedah dan di Kedah juga ada Kampung Aceh. Begitu juga tempat lain seperti Yan, Sungai Limau, Merbok, Sungai Patani, Kuala Kedah, Alor Setar, Jitra, Anglang dan Pulau Langkawi, banyak dihuni orang Aceh," paparnya.

Aceh-Melayu hakikatnya bersaudara kandung. Sejak dulu orang Aceh mengaku keturunan Melayu yang sudah banyak bercampur dengan bangsa-bangsa lain seperti India, Arab, Parsi dan Turki, di samping suku-suku lain di nusantara. Hal itu tercermin dalam ungkapan orang di Aceh "Aceh Teungku, Melayu Abang, Cina Toke, Kaphe Tuan".

Kajian relevansi pertalian budaya Melayu-Aceh, menurut Ketua Pusma NAD, untuk menghimpun berbagai informasi budaya Melayu-Aceh dalam berbagai aspek sekaligus mempererat persaudaraan Aceh-Melayu. Latar sejarah warisan Melayu-Aceh yang sudah terjalin indah lebih 700 tahun lalu atau abad ke-12 M, digambarkan makalah Prof DR Siti Zainon Ismail (PhD UM) guru besar Universiti Kebangsaan Malaysia.

Namun budayawan dan penyair yang masih memiliki tali keturunan Aceh itu, kemarin terpaksa kembali ke negaranya setelah dikabarkan ibundanya meninggal dunia. "Aceh telah banyak menghidupkan jiwa saya. Aceh adalah bagian dari keluarga saya, orangtua saya dari Pidie masih bisa berbahasa Aceh. Maka memberi perhatian khusus bagi negeri indatu saya Aceh adalah amanat," tutur Siti Zainon Ismail yang kemarin tampil beberapa menit di depan peserta seminar yang berlangsung di Gedung Meuseum Aceh. Program dunia Melayu, kata Encik Siti, harus digelorakan demi bangsa dan agama serta Aceh.

 Pembicara lain yang tampil adalah DR Ahmad Kamal Abdullah (sastrawan Malaysia) tentang Budaya Melayu-Aceh dalam Bahasa dan Sastra, Hubungan Budaya Melayu Riau dan Melayu Aceh disajikan Prof DR Suwardi MS (Lembaga Adat Melayu Riau), Tgk Lukman Sinar SH (sejarawan) membahas saling pengaruh budaya Melayu-Aceh, dan Lian Sahar (Pelukis Jokjakarta) tentang Kesenian Aceh, Estetika Multikultural yang belum Selesai.

Pada hari pertama Seminar Internasional Aceh-Melayu, tersimpul perlunya membangun kesadaran melalui poros budayanya yang Islami. Dalam konteks implementasi Syariat Islam di Aceh -- memberikan muatan nilai atau unsur sistem budaya dalam berkesenian Aceh. Sehingga "ruh" Islami menjadi karakter dan identitasnya. Dengan begitu akan mampu meneguhkan perlawanan terhadap serangan budaya lain.(ampuh devayan)

Kembali ke Index>>>

Untuk Menyelesaikan Konflik Aceh
Belajarlah dari Snouch Hurgronje 
(28/10/2002)

Seminar
Budaya Melayu-Aceh
(25/10/2002)

Sekretariat PUSMA
Jalan T. Nyak Arief No. 314 Darussalam Banda Aceh, Indonesia, Telp. 0651-54558 

Email: pusma@lycos.com