Sajak-sajak D Kemalawati :
O M B A K
seandainya kau pergi jauh
tak kembali
akan kulayari kekecewaan ku
agar siapa pun kan merasakan
berbagai makna di kakiku
yang terus telanjang
- Pelabuhan Malahayati 1987 -
SUATU MALAM DI SEBUAH HALTE
bus terakhir tetap sarat
apa yang kau tunggu
atau
lampu meredup kelam
lalu tubuhmu terkapar
- Banda Aceh, 1989 -
J A K A R T A
semalam terakhir itu
seribu jarum
dibantal tidur
mengukir luka
- Jakarta, 1989 -
MALAM DALAM HITUNGAN
malam, telah malam disini
ketika matahari cepat berlalu
laut tetap beriak gamang
sepanjang pantai
malam, telah malam
ketika terang purnama
langit retak seketika
malam terlanjur panjang hitungannya
menyimpan kelam
malam, telah malam tanpa damai
angin berlalu penuh kekecewaan
siulan burung hantu
ramai dalam kepungan durjana
malam, telah malam dalam nista
cahaya buram menamatkan cinta
sempurna dan terpelihara
- Banda Aceh, 1989 -
S I A - S I A
mengejar bayangmu kasih
bagai ombak memburu tepian
tak berbekas
- Meulaboh, 1989 -
B U L A N
bila bulan pecah
di rumputan kering
bakar semua ranting pengikat
dan lihat pelangi menghalau hujan
lalu kembangkan layar
(harungi lautan itu)
- Meulaboh, 1989 -
DI HEMPAS BADAI
seperti biduk rapuh bermain di samudra
alangkah hebatnya petualangan ini
seperti layang-layang di tengah padang
inilah tangan mengulur
harap terbang tinggi
seperti kelana di hutan belantara
ikut arah angin kembara
seperti lilin di tengah gubuk
maka badai adalah satu-satunya
nyanyian perkasa
(seharusnya)
- Meulaboh, Mei 1990 -
L E N T E R A
dialah lentera yang tergulir
dari tebing iring lahar
dan kabut gerah
antara palung gelap
dan basah
urai apinya
tuju rimba - rimba pekat
(lentera telah daki
puncak keabadian)
- Meulaboh, 1990 -
DALAM DEKAP
mari kutulis rindu
dalam dekap angin dan ombak
malam labuhkan hastrat
turun bersama titik embun
mari kubaca cinta
lewat bola mata luka
pagi tanpa sapa melenggang hampa
(entah apa katanya esok
sementara jarum jam semu
melintas waktu)
- Banda Aceh, 1992 -
S O M A L I A
di gurun itu hanya ada pasir dan angin menjerit
ilalang meliuk tubuhnya sunyi
tak juga gembala mengibarkan bendera
adalah sayap-sayap patah
tulang-tulang dikerubuti lalat
terdampar dari gurun ke gurun
menyatu dengan tubuh
di sana ada cinta mengalir bersama darah
darah mereka yang belum kering
ada yang bertahan dalam pijar
yang rubuh dalam suhu
Somalia mungkin larva mungkin juga lencana
matahari merah di sana
bulan putih cinta buih
dicatatan kita yang buram
Somalia, ah
- Banda Aceh, September 1992 -
P O T R E T
diberi kami waktu
menapak pemberian
antara burung dan angin
sayap makin rapuh
ada kesenjangan merakit cahaya
entah potret siapa
tersaji begitu tiba-tiba
imajinasi bersanding menara gading
larut menjadi debu
sikap
malang
atau tak peduli
begitu kaku dimata
- Agustus-Oktober 1993 -
P R A H A R A
keributan ini bukan teka-teki
prahara mengirim kabut mengental di ketiak pohon
masih mendengus kelihatan diterkam
untuk teriak lantang butuh waktu
angin kali ini bukan angin malam
sepoi-sepoi basah
badai di tepian pantai menumbangkan pohon
hingga ke akarnya
sungguh bila ini petaka
siapa lagi korbannya
kegelisahan terpantul lewat kaca yang ditabalkan
mau apa lagi keberadaan diakhiri ketiadaan
bukan sekedar mimpi buruk
atau imajinasi sang penyair
luka pada kaki yang dirantai tak melemah
apalagi terkubur
kecuali lelaki yang punya nyali
tak berkoar di tepi
- Banda Aceh, 1993 -
WANITA-WANITA DALAM LINGKARAN
wanita-wanita dalam lingkaran
telah dipaksa meninggalkan seluruh harga yang
melekat, seluruh asa yang membubung,
membelenggu,
hingga dadanya tak kuasa membendung
lahar membara
mereka terkapar dalam nista
terkurung tak berdaya
mereka sandera untuk sesuatu yang tak nyata.
wanita-wanita dalam lingkaran
tak mampu lagi mengunci diri
beribu hari mereka meraung sendiri
mencakar-cakar wajahnya sendiri
hingga tak mampu lagi berdiri
menegakkan harga diri
wanita dalam lingkaran
adakah kalian tahu siapa mereka
yang mempertaruhkan nyawanya
melahirkan siapa saja
lelaki-lelaki perkasa merebut b intang dari
kasihnya
menabur cahaya dari cintanya
haruskan menangisi kodratnya
karena nafsu adalah senjata
menoreh luka dimana-mana
wanita-wanita dalam lingkaran
adalah kaum tertindas di negerinya sendiri
mereka tak diberi hak bersuara
padahal mereka buta
padahal mereka tak gemar meminta
tak gemar bertanya
padahal mereka bukan siapa-siapa
lalu mengapa
mereka dipaksa
mereka dihina
disiksa
dijadikan lambang kepekatan
dan
"rahasia-rahasia"
di negeri ini
di zaman penuh cinta
beribu wanita tak berdaya
trauma nuraninya
bahwa setiap ketimpangan
kebiadaban
perpecahan
ketidakadilan
wanita ajang pelampiasan
kepuasan
keputusasaan.
- Banda Aceh, Agustus 1997 -
YANG PERGI DIWAKTU MALAM
aku masih terjaga menanti kepulanganmu
betapa malam telah sepi
desahmu penuh duka
"tadi malam aku lupa berjaga
padahal sebelum kujeguk dia
terpikir olehku kamera
dia telah pergi
tanpa sempat aku abadikan deritanya"
"sudahlah sayang,"ucapku
"sungguh sudah cukup banyak yang telah pergi
tanpa sempat kau rekam
sementara tubuhmu pun akan semakin rapuh"
"aku tak perlu pikirkan itu"keluhmu
"aku hanya ingin kautahu tentang perawan yang
disetubuhi peluru itu telah pergi selamanya"
aku tersenyum
kau makin meradang
"begitu mudah memutuskan tali kehidupan
hingga wanita yang terkapar diberondong selangkangannya
ah, percuma kau jadi ibu" gerutumu makin panjang
nun di sana di awan-awan Yuni melambaikan tangannya padaku
pada kami yang terus terjaga
gadis belia itu tersenyum melangkah diantara kembang putih
wanginya tercium ke bumi.
- Banda Aceh, 10 Mei 1999 -
* Yuni Afrida, gadis belia yang tertenbus peluru
diselangkangannya, saat tragedi Simpang KKA, Lhok-
seumawe, 1999.
SURAT DARI NEGERI TAK BERTUAN
sahabatku, inilah suratku dari negeri tak bertuan
sebenarnya telah sangat lama
berita ini ingin kukabarkan
tetapi seperti kau juga
aku selalu terjaga waktu malam
untuk menenangkan diri
bahwa kuku-ku panjang
yang dulu merobek-robek hikayat negeri kita
terlalu keras mencengkram bumi
hingga kini mengalirkan airmata darah
aku jadi malu pada diriku
sungguh telah membiarkan cerita luka terkubur
dalam batinku tanpa menceritakan padamu
tapi kuyakin
kau juga telah banyak tahu
tentang tanah dan airku
yang kini berwarna merah
dikarenakan tabir telah terbuka
tak ada yang harus kusembunyikan
ingin kubertanya padamu
tentang wajah kami
apakah benar berwajah srigala
hingga pemburu beradu cepat
mengangkat senjata
kalau benar katamu
apakah kami haris punah
bersimbah darah
tolonglah aku
jawablah tanyaku
kerena kamulah yang masih bisa kuajak bicara
sejak mereka memalingkan muka
- Banda Aceh, Juni 1999 -
KOLAM MERAH DI BEUTONG ATEUH
orang-orang datang mengucap salam
orang-orang berjabatan tangan
orang-orang berkeliling wajahnya seram
orang-orang ditangannya senjata siap kokang
orang-orang tak mendengar pengajian
orang-orang lupa mengumandangkan azan
orang-orang mendengar suara tembakan
orang-orang mendengar raungan kengerian
orang-orang mendengar rintihan kesakitan
orang-orang lalu melihat darah merah menjadi kolam
orang-orang menghitung dengan gigi gemerutuk ketakutan
berapa lelaki syahid Jum'at siang
orang-orang mengingat dengan harap cemas
berapa lelaki dibawa pergi kembali pulang
orang-orang mulai menggali
lubang-lubangpun berisi
orang-orang mulai bersaksi
saksi-saksi berdesah ngeri
dan aku serta ribuan orang disini
tak dapat dibeli
aku punya naluri
hati nurani
walau telah lama terkepung
aku memilih mati
akupun bersaksi
(bahwa pembantaian itu benar-benar terjadi)
- Banda Aceh, Jum'at, 30 Juli 1999 -
TANAH AIR, MILIK SIAPA
katakanlah milikmu
hari ini kau hamburkan jutaan peluru
tanah bersimbah darah
damaikah malammu
katakanlah milikmu
hari ini kau hardik bagai gembala
merumput di padang kering
meneguk setetes air
merdukah serulingmu
katakanlah milikmu
hari ini kau bangun tenda-tenda
dengan pandangan hampa
seekor kelinci jinak bemain di sana
ribuan pemburu beradu cepat membunuhnya
terbukakah matamu
katakanlah milikmu
lalu kau senda guraukan bersama kicauan burung
di bawah sana mayat mengapung
menanyakan kuburnya
guyonkah itu
katakanlah milikmu
kepada hamba-hambamu
bila mereka percaya
tutuplah pintu rapat-rapat
agar tak ada yang mengetuk
dan membawamu pergi
- B. Aceh, November 2000 -
LEWAT SYAIR
membaca statusmu yang terluka
kuraba dahiku dengan jengah
tetabuhan di dada gemuruh
risau menghunyam jiwa
maunya apa
bicara dan terbuka
aku menuntut juga
lewat syair bermain kata
tapi siapa percaya
di lumut hati mereka menyulam dusta
hari ini ramai berkata-kata
esok sepi bersandiwara
dalam keluh aku merenung
membayangkan damai
tanpa berkabung
- Banda Aceh, 14 November 2000 -
T R O T O A R
trotoar itu menyisakan debu
kadang kala berhias merah berdarah-darah
dalam waktu lama
orang-orang mempercepat langkah
memaling muka
seketika jantung berdegup kencang
wajah-wajah pucat berkerumun
membuat lingkaran
membuat jawaban
trotoar itu menjadikan dari sangat terpuji
sebagai saksi
bila lelaki yang tertembus peluru itu
tak cepat-cepat membeku
trotoar itu hanya menyisakan debu
hitam dan bau
- Banda Aceh, April 2001 -
RUMAH MALAKA
bermula di halaman rumahmu Malaka
serumpun bunga warna-warni
bercerita tentang cinta
muara sungai Duyung
melambai ke negeri seberang
tangan gemulai lincah bersalaman
lalu Ayer Keroh merangkai bunga
dalam jambangan
indah dalam tatapan
hangat dalam pelukkan
bermula di halaman rumahmu Malaka
seorang lelaki bersahaja
memandang senja kemilau
kita saling merajuk dalam 'dondang sayang'
tetabuhan gendang
seruling bersahutan.
-Malaka, april 2002
D I A M
di suatu halte yang suram
aku mencari makna
yang menggantung
pada kelabu burung pungguk
menandai sarangnya
-Banda Aceh, 31 Juli 2002
NUNUKAN DAN WAJAH NEGERIKU
melihat Nunukan yang diamuk gelombang
simpang siur wajah negeriku dalam porak
sangat majemuk
semua terjual dalam ringkih kesetaraan
malam melaju dalam senyap duka
Nunukan akan tenggelam
wajah negeriku bias sejenak
Wajah negeriku selalu garang, bila berbicara tentang Aceh
sedikit terperangah
berapi-api tentang Laskar Jihad
sangat norak dengan demonstran
sedikit bernyanyi tentang Papua Merdeka
membelai penuh kasih Jakarta
berdangsaria dengan Cina
menari sal-sal dengan Afrika
atau berpelukan mesra dengan Amerika
lalu berada dimana sukacita yang ditawarkan bertahun-tahun dalam merah yang berani atau putih nan suci. aku menggugat demi cinta seorang ibu TKI yang harus merelakan bayinya seharga Rp 500 ribu berjalan terburu menutupi dadanya bernanah. aku menggugat demi tubuh anakku yang hancur karena bom yang dipaksakan meledak, demi putriku yang disetubuhi peluru tanpa bersanding dipelaminan,
demi air mata yang pernah mengalir diwajah keibuanmu, ibu
Nunukan hanya sekilas bernama luka
perihnya terkubur dalam sukma selamanya.
-Banda Aceh,September 2002
******
B I O D A T A:
D.
Kemalawati dengan nama akrabnya Deknong, lahir di Meulaboh, ibukota Kabupaten Aceh Barat yang merentang di pesisir Samudera Hindia, terapit oleh jejeran pegunungan Bukit Barisan pada 2 April 1965 dari pasangan Nyak Na dengan Nyak Maneh. Mulai bergelut di bidang sastra dengan menulis dan mengikuti lomba baca puisi semenjak dibangku SMP.
D Kemalawati salah seorang penyair wanita Aceh yang dinilai sangat produktif. Selain sebagai guru, dia juga aktif dalam bidang seni tari. Begitu juga bidang teater digelutinya sejak SMA, bergabung dengan Teater Desir Meulaboh. Semasa kuliah di FKIP Unsyiah Banda Aceh bergabung dengan Teater Improvisasi pimpinan Hasyim KS dan pernah memerankan tokoh Miranda dalam drama "Eksekusi" (The Valiant) karya Jhon Galsworhy & Robert Midlemans di Auditorium RRI Banda Aceh (1989). Salah seorang lawan mainnya, Helmi Hass, SH, kini Ketua Dewan Kesenian Aceh (DKA), pada tahun 1992 mempersunting dirinya. Selain di Aceh, Deknong juga pernah melakukan pementasan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta dan membaca puisi-puisinya di Universitas Malaka, Malaysia awal tahun 2002.
Alumnus FKIP Matematik Unsyiah ini, semula bertugas sebagai guru SMEA Negeri Meulaboh dan sejak 1 Oktober 1993, pindah ke Banda Aceh dan bertugas di STM Negeri (kini SMK Negeri 2) Banda Aceh. Sejak pindah hingga kini, menjadi pembina kesenian di STM.
Selain sebagai pendidik, lebih memfokuskan diri pada dunia sastra. Terutama menulis puisi, cerpen dan artikel budaya. Karya-karyanya selain disiarkan dalam media massa, Aceh, Medan dan Jakarta juga dikumpulkan dalam berbagai antologi puisi bersama. Diantaranya:
-
Kemah Seniman Aceh.
-
Nuansa Pantai Barat.
-
Nafas Tanah Rencong. Seulawah.
-
Dendam Air Mata.
-
Keranda-Keranda.
-
Aceh Mendesah Dalam Nafasku bersama penyair Indonesia.
-
Musim Bermula bersama Penyair Wanita se-Sumatera.
Sekarang, D Kemalawati, ibu tiga anak ini, dipercayakan sebagai Wakil Sekretaris Dewan Kesenian Banda Aceh (DKB) periode 1989 - 2003. Dalam waktu dekat ini akan terbitkan buku puisi sendiri dengan judul "Suatu Malam di Sebuah Halte"
Kembali
ke Index>>>
|