Catatan dari Refleksi Budaya
Damai adalah Kerinduan Hamba Tuhan
ADA yang meraung sambil menyentu jidatnya ke tanah pertanda
syukur ketika kabar damai Cessation of Hostilities Agreement
(kesepakatan penghentian permusuhan) antara RI dan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) di Jenewa, 9 Desember 2002 ditandatangani.
Suasana haru itu menyelimuti seluruh pelosok sekeping tanah yang
bernama "Aceh Seuramoe Mekkah" itu. Seorang teman, terlihat
sesuguhkan dengan mata berbinar tanpa mampu membendung
keharuannya. Orang-orang yang duduk di warung kopi pagi itu
kembali bersalam-salaman meskipun sebelumnya sudah berjabat
tangan dalam moment 'Idul Fitri.
Tanda syukur atau mungkin efeoria, sehingga ada kawan yang
memanggil fotografer amatiran yang saat itu melintas, dan minta
mengabadikan mereka. Foto yang diberi nama "Pilar menuju Aceh
Darussalam". Itulah ekspresi kerinduan rakyat Aceh atas
kedamaian setelah 26 tahun dalam penderitaan, kepedihan dan
kesengsaraan.
Kerinduan hamba Tuhan yang selama ini hidup telah menjadi barang
mewah. Idul Fitri 1423 H adalah lembaran suci juga kado khusus
dari Tuhan bagi masyarakat Aceh untuk memulai kehidupan baru
setelah sekian lama dalam kepahitan dan kegelapan akibat
konflik. Konflik yang telah merusak seluruh sendi kehidupan;
fisik dan mental, bahkan budaya dengan terbunuh karakter dan
punahnya identitas sebagai bangsa Aceh dalam makna kultural.
Kembalinya kedamaian di Aceh, adalah proses panjang perjuangan
yang kini masih memerlukan proses. "Disini butuh ketulusan semua
pihak," kata Ratna Sarumpaet, aktivis kemanusiaan ketika
menyampaikan makalah tentang 'Damai untuk Aceh dalam Refleksi
Budaya" yang dihadiri ratusan seniman Aceh, Sabtu lalu.
Ratna yang mempresentasikan pikirannya tentang ketulusan
memanusiakan manusia, menegakkan kesepakatan damai di Aceh
adalah kerinduan semua sebagai hamba Allah yang memerlukan
ketulusan hakiki untuk menciptakan ala beradab.
Direktur Crisis Centre yang melakukan perjalanan lima hari ke
pelosok-pelosok tanah Aceh, mengingatkan agar semua perilaku
politik yang melukai rakyat harus dihentikan. Kerusakan fisik,
moral dan budaya diperbaiki dan ditebus dengan sungguh-sungguh.
Dikatakan, perlu kesungguhan yang berarti dilakukan pemerintah
agar kedamaian itu bisa abadi.
Pertanyaannya, betulkah, para penguasa Jakarta memiliki niat
tulus? Kalau itu ya, maka perlu pemahaman akar persoalan yang
telah menyebabkan konflik berkepanjangan. Dan apa yang
sebenarnya didambakan rakyat Aceh. Untuk itu, bahwa akar
persoalan bukan sesederhana yang diwacanakan -- yaitu sebab
gangguan keamanan atau sparatisme, tetapi perilaku yang melukai
rakyat Aceh harus dipulih dan dihentikan.
Semakin memasuki realitas di lapangan, kata aktivis Satu Merah
Panggung itu, hidup di Aceh sudah menjadi barang mewah dan
memiliki cita-cita adalah sebuah langkah yang sangat absurd.
Mestinya, otoritas mengendalikan bau mesiu beraroma kekerasan
oleh pemerintah, ternyata masih disikapi dengan usaha-usaha
meyakinkan orang, dan merendahkan bahkan melumpuhkan daya kritis
masyarakat.
Dengan begitu, seolah-olah tindak kekerasan, penculikan,
penyiksaaan, pembakaran rumah, pembunuhan dan sebagainya yang
berlaku atas masyarakat sipil, demi pemecehana masalah Aceh
adalah sah.
Pendekatan budaya
Saat ini telah datang sebuah harapan terwujudnya perdamaian dari
dua kubu yang berselisih, upaya pendekatan budaya harus
diserukan. Kata ini memang sudah seperti barang unggulan yang
dijajakan pemerintah setiap kali ada kebijakan baru, statemen
baru tentang Aceh atau ketika seorang pejabat melakukan kunjunga
khusus ke Aceh.
Lalu, kita bertanya --ketika menyaksikan kondisi obyektif,
adakah pemahaman apa itu budaya? Ada pertanggung jawaban ketika
kata itu dilontarkan? Adakah mereka tahu sisi budaya terpeka
tyang manakah sebenarnya yang telah dilecehkan?
"Ketika dan kawan-kawan berhasil menerobos ke Bukit Tengkorak.
Di tengah kebisuan yang menggigit, membaca Yassin dengan
perasaan tercekam. Kebisuan disana adalah kebisuan ratusan
korban yang terkubur, adalah kebisuan ribuan keluarga mereka
yang tak lagi terdengar mengeluh. Sekali lagi atas nama Allah,
perkenankan saya menegur semua pihak, pemerintah bahwa
kesepakatan damai adalah kerinduan kita semua sebagai manusia
yang diciptakan Allah beradab.
Maka lakukan pendekatan beradab terhadap ribuan korban yang
terkubur sia-sia di bukit-bukit yang ada di Aceh, dengan
memperlakukannya sesuai akhlak yang diamanakan Allah dan
diamanakan semua agama yang ada. Insya Allah damai yang
dicitakan itu akan datang dengan sendirinya".
Refleksi budaya yang dihadiri hampir seratusan seniman itu lebih
terlihat sebagai menyuarakan kegelisahan di tengah kenyataan
kebudayaan -berada dalam suatu sistem yang dialami saat ini
dengan pengertian bangsa yang sangat mekanis, dan kesempatakan
untuk berkarya sangat terbatas dan sumpek.
Karenanya, pengawalan terhadap pendekatan budaya harus
diimplementasikan dalam kenyataan alam yang membatasi seperti
keadaan kita sekarang ini -dimana kemestian orang-orang
dilahirkan
dan berkehidupan di Aceh.
Konflik yang dirasakan masyarakat di Aceh bukan suatu halangan,
kecuali yang mengkhawatirkan dan meruntuhkan adalah perilaku dan
ketidakadilan yang cenderung menjadi bagian budaya masyarakat.
Ketidakadilan alam sungguh berada sungguh berada di luar sistem
nilai yang bisa dikuasai oleh fikiran empiris manusia. Alam
tidak lahir dari manusia dan tidak dicipta dari fikiran manusia.
Tapi
kebudayaan lahir dari fikiran manusia.
Gaya hidup suatu bangsa bukan "nasib' bangsa itu. Adat-istiadat
suatu bangsa bukan "alam" bangsa itu. Ketidakadilan yang terjadi
juga lahir dari fikiran manusia. Jadi bisa dirubah, tentu. Bila
fikiran kita telah mengambil keputusan dan menetapkan pengabdian
terhadap keputusan itu --meminjam WS Rendra, "keadilan alam
hanya bisa diharap dan ditunggu.
Keadilan dalam masyarakat harus diperjuangkan biar pun seru.
Sebab kita tidak berurusan dengan kehendak Tuhan. Tidak pasrah.
Karenanya sebagai seniman harus merdeka dan memberikan
inspirasi. Seniman merdeka tidak punya bedil. "Senjatanya" hanya
rapa', akardeon, gitar dan suara semangat juang dengan pesan
moral.
Karena kita tidak bekerja dalam kekosongan udara, tetapi di
tengah pergolakan hidup dan arus masyarakat serta gempuran
budaya yang mempengaruhi. Untuk itu harus setia pada misi dan
dedikasi. Salah satunya mempersiapkan rakyat menjalankan
peranannya sebagai suatu bangsa terhormat, damai, bermartabat di
tengah perubahan semesta.(SI/Ampuh devayan).
Kembali ke Index>>> |