Lebaran di Jenewa
Biasanya di negeri kita kalau merayakan Idul Adha dengan
memotong kambing atau kalau panitia banyak uangnya kadang
memotong sapi, lalu dagingnya dibagikan pada fakir miskin.
Tradisi Islam ini dilakukan setahun sekali.
Saya jadi lebih penasaran ketika berada di Jenewa untuk melihat
tradisi potong kambing ini. Setahu saya, masjid terbaik dan
termegah seluruh negeri Swiss ada di Jenewa. Pada suatu
kesempatan saya berkunjung ke masjid tersebut, sangat indah tak
terlalu besar tapi bertingkat. Terdiri dari
beberapa ruangan laboratorium, kursus bahasa asing, dan ruangan
pertemuan.
Konon masjid itu dibangun dengan biaya dari negara-negara Islam
utamanya Arab Saudi. Karena letak masjid tak terlalu jauh dari
gedung badan PBB, barangkali para delegasi negara-negara Islam
berinisiatif untuk membangun masjid yang representatif.
Ketemu Abdullah dari Mesir Ketika menjelang magrib, saya
bertandang ke masjid itu. Pada saat akan
berwudhlu, airnya agak hangat karena musimnya lagi dingin.
Seorang anak muda berperawakan Arab menyapa saya: "Anda dari
Indonesia ?"
"Lho,...kok tahu ?", sambungku dengan heran.
"Saya Abdullah dari Mesir" kata anak muda tadi.
Setelah itu dia menafsir saja, bila saya di tebak dari
Indonesia.
Abdullah menerangkan bila dirinya belajar di Amerika, serta
sering ketemu orang Indonesia, wajahnya sama, makanya dia
langsung tebak saya. Ruangan wudhlu sangat bagus berkeramik biru
dan putih, lalu kami berdua hendak shalat. Namun Abdullah
mengajak saya ngobrol dulu di beranda masjid.
Sini dulu,... shalatnya belum mulai, jangan buru-buru, kata dia.
Saya pun meladeni obrolan dia, pembicaraan sekitar Islam dan
kami larut dalam diskusi yang mengasyikan.
Tapi saya tengok ke dalam masjid, sudah banyak orang mulai
sholat, lalu saya tinggalkan Abdullah, dia tetap sendirian di
luar. Setelah sholat selesai, saya tengok sap di belakang saya,
Abdullah lagi khusuk sembahyang. Saya lalu pergi meninggalkan
masjid. Dalam pikiran saya, wah,...Abdullah ini orang baik,
namun kok budaya ngobrol di luar masjid, sambil menunggu shalat
hingga terlambat, kok ya sama waktu saya kecil di desa dulu.
Sate Libanon
Suatu hari, ada acara perayaan Idhul Adha di masjid tersebut,
kesempatan itu tak saya sia-siakan, lalu saya bertandang kesana
dengan istri. Dalam perjalanan ke masjid itu, saya banyak
berhitung dalam bathin. Adakah orang fakir miskin di Swiss?
Bagaimana nanti daging kambing di bagikan ke masyarakat Swiss ?
Masyarakat yang beragama non-Islam? Pokoknya segudang rasa ingin
tahu pelaksanaan Idul Adha itu.
Saya, istri dan beberapa orang Swiss datang, memasuki ruangan di
depan Masjid, sudah bisa saya baca
tulisan besar: Sate Libanon, banyak orang-orang perawakan arab
membakar sate, namun sate Libanon ini dagingnya sebesar kepalan
tangan, tusuknya juga tebal sekali, jadi satu tusuk sate untuk
satu orang sudah cukup kenyang. Bau sedap berserakan di ruangan
terbuka itu, saya telusuri dari stand satu ke stand yang lain.
Ada stand Turki, banyak buat masakan khas Turki; Kebab, ada
stand Maroko, banyak dasarkan hasil kerajinan tangan dan makanan
khasnya Cus Cus (sejenis jagung tumbuk yang di bumbui lezat
beserta sayur), saya keliling terus, banyak anak-anak kulit
hitam berseliweran dan ada pengeras suara melantunkan lagu-lagu
irama padang pasir.
Saya sengaja keluar ruangan, untuk mencari dimana kambing di
gantung dan disembelih? Dimana diletakkan daging yang akan
dibagikan fakir miskin ? Apakah saya terlambat datang, kok nggak
menemukan yang saya cari. Akhirnya saya tak temui daging apapun
untuk dibagi fakir miskin. Yang saya temui justru stand-stand
makanan gratis yang diadakan oleh seluruh perwakilan
negara-negara Islam dunia yang berkantor di Jenewa.
Saya mulai usil, adakah stand Indonesia? Kayak apa makanan yang
disajikan? Setelah berputar-putar
terlihat stand Indonesia, oh...ini dia stand kita. Di stand
Indonesia, saya lihat di piring bergedel jagung, krupuk udang
dll, bisa diambil untuk umum.
Di tengah ruangan itu seorang ketua panitya berpidato dalam dua
bahasa: bahasa Perancis dan bahasa Arab. Di kerumunan itu saya
lihat beberapa muka Melayu, setelah saya dekati, eh...ternyata
orang-orang staf KBRI Jenewa.
Seorang menerangkan, bila yang pidato tadi imam masjid, asalnya
dari Purworejo- Jawa Tengah. Saya jadi agak bangga ada orang
Purworejo memimpin masjid internasional, rasa kedaerahan saya
mulai kambuh, karena saya juga dari Jawa-Tengah, lalu
ditambahkan bila pak imam tadi awalnya bekerja
di Arab Saudi, kemudian ada proyek membangun masjid di Jenewa
dan diperlukan seorang pemimpin masjid.
Saya jadi ingat, ketika masih di tanah air, pernah membaca
sepotong koran tentang festival istiqlal di Jakarta. Dan dalam
sebuah seminar festival itu didatangkan seorang imam dari
Jenewa. Ternyata
bapak imam itulah yang pernah saya baca di koran dulu. Hari-hari
berikutnya saya berusaha mencari beliau tapi sayang tak bisa
bertemu.
Kembali ke perayaan Idhul Adha tadi, ternyata saya amati banyak
orang lokal Swiss yang hadir hanya untuk menyantap makanan khas
muslim. Terbetik di pikiran, oh...begini caranya mengadakan
Idhul Korban di lautan agama bukan Islam dan tak terdapat fakir
miskin, caranya yang paling efektif dan memasyarakat yaitu
mengundang penduduk setempat untuk mencoba makanan gratis.
Beginilah
Idul Korban di negara ultra kapitalist bin modern.
Musholla Apartemen
Saya tinggal di Swiss bagian bahasa Jerman, tak jauh dari kota
Luzern yang indah. Pada suatu sholat Jumat, saya dan beberapa
kawan Indonesia mendatangai masjid Jami. Masjid itu kecil, ya
mirip musholla saja dan lagi bangunannya hanya berupa apartemen
milik orang Turki. Ketika kami masuk dan melepas sepatu,
beberapa orang kulit gelap, mungkin dari Afrika dan juga dari
Pakistan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
Saya merasa keramahannya seperti di desa. Setelah melepas jaket
dan wudhlu masih pakai air hangat lagi, kami mulai memasuki
ruang sholat. Saya amati tak ada seorang pun yang pakai sarung.
Semua bercelana panjang, sarung memang cuman adat kita saja.
Yang saya lihat aneh lagi, semua orang berkaos kaki
dalam bersholat, maklum udara di luar minus 06.° C. Seorang imam
berkotbah dengan bahasa Turki, kami hanya duduk saja, dan satu
dua kata bisa masuk di telinga:...muslimin,...Allah,....Saya
amati imamnya berkotbah, namun duduk di barisan terdepan ada
anak kecil yang sedang membaca Al-Qur an dalam hati.
Dia tak mendengarkan isi kotbah. Sehabis sholat, seorang yang
melantunkan suara adzan dibelakang saya tadi, menarik tangan
saya dan mengatakan: Bruder (kakak)...minum teh dulu. Kami pun
ikuti ajakan dia.
Berhadapan dengan ruang sholat, ada ruangan kosong sudah banyak
orang duduk melingkar, sambil minum teh panas. Rupanya mereka
habis sholat kebiasaanya duduk minum teh bersama. Ketika imamnya
datang, dia tanya kami dengan diterjemahkan seorang yang
beradzan tadi. Mungkin kita dianggap berwajah lain, kok ada umat
Islam dengan wajah melayu?
Kan kebanyakan berwajah Arab atau hitam dari Afrika. Mengetahui
kami dari Indonesia, imam tadi wajahnya cepat berbinar-binar dan
bertutur: saya sudah naik haji, dan punya pengalaman tersendiri
dengan orang Indonesia di Mekah. Ketika saya sholat di Mekkah
sana, di belakang saya orang dari Indonesia. Saya sholat dia
menunggu dengan sabarnya sampai sholat saya selesai. Padahal
saya
persilahkan duluan, tapi dia sopan menunggu saya. Ungkap imam
Turki itu.
Lalu kami asyik dengarkan cerita beliau, karena setiap kalimat
diterjemahkan ke bahasa Jerman pada kami, dan para hadirin
sendiri sudah mengerti bahasa Turki dengan mengangguk-anggukkan
kepala, para hadirin tampak senang dan bangga. Imam tadi
melanjutkan ceritanya;...Saya heran kalau di Turki, yang naik
haji itu orang-orang tua, kayak saya ini, tapi di Mekah saya
lihat banyak anak anak Indonesia naik haji ? Kami berdialog
ringan tentang islam di tanah air. Sebelum kami meninggalkan
ruangan, ada kotak amal yang di edarkan, ketika kami akan buka
dompet, jangan masukkan uang kalau nggak punya banyak uang,
salah seorang mengatakan pada kami.
Demikian secuil oleh-oleh dari negeri orang, selamat berpuasa
bagi yang puasa dan selamat lebaran bagi yg lebaran.
Kang Bondet
Kembali ke Index>>> |