PUSMA Online

 

PUSAT STUDI MELAYU-ACEH

www.pusma.8m.net

 Artikel
 Puisi
 Prosa
 Galeri Foto
 Sahabat
 Agenda

 Surat:

Lebaran di Jenewa

Biasanya di negeri kita kalau merayakan Idul Adha dengan memotong kambing atau kalau panitia banyak uangnya kadang memotong sapi, lalu dagingnya dibagikan pada fakir miskin. Tradisi Islam ini dilakukan setahun sekali.
Saya jadi lebih penasaran ketika berada di Jenewa untuk melihat tradisi potong kambing ini. Setahu saya, masjid terbaik dan termegah seluruh negeri Swiss ada di Jenewa. Pada suatu kesempatan saya berkunjung ke masjid tersebut, sangat indah tak terlalu besar tapi bertingkat. Terdiri dari
beberapa ruangan laboratorium, kursus bahasa asing, dan ruangan pertemuan.
Konon masjid itu dibangun dengan biaya dari negara-negara Islam utamanya Arab Saudi. Karena letak masjid tak terlalu jauh dari gedung badan PBB, barangkali para delegasi negara-negara Islam berinisiatif untuk membangun masjid yang representatif.

Ketemu Abdullah dari Mesir Ketika menjelang magrib, saya bertandang ke masjid itu. Pada saat akan
berwudhlu, airnya agak hangat karena musimnya lagi dingin. Seorang anak muda berperawakan Arab menyapa saya: "Anda dari Indonesia ?"
"Lho,...kok tahu ?", sambungku dengan heran.
"Saya Abdullah dari Mesir" kata anak muda tadi.
Setelah itu dia menafsir saja, bila saya di tebak dari Indonesia.
Abdullah menerangkan bila dirinya belajar di Amerika, serta sering ketemu orang Indonesia, wajahnya sama, makanya dia langsung tebak saya. Ruangan wudhlu sangat bagus berkeramik biru dan putih, lalu kami berdua hendak shalat. Namun Abdullah mengajak saya ngobrol dulu di beranda masjid.
Sini dulu,... shalatnya belum mulai, jangan buru-buru, kata dia. Saya pun meladeni obrolan dia, pembicaraan sekitar Islam dan kami larut dalam diskusi yang mengasyikan.

Tapi saya tengok ke dalam masjid, sudah banyak orang mulai sholat, lalu saya tinggalkan Abdullah, dia tetap sendirian di luar. Setelah sholat selesai, saya tengok sap di belakang saya, Abdullah lagi khusuk sembahyang. Saya lalu pergi meninggalkan masjid. Dalam pikiran saya, wah,...Abdullah ini orang baik, namun kok budaya ngobrol di luar masjid, sambil menunggu shalat hingga terlambat, kok ya sama waktu saya kecil di desa dulu.

Sate Libanon
Suatu hari, ada acara perayaan Idhul Adha di masjid tersebut, kesempatan itu tak saya sia-siakan, lalu saya bertandang kesana dengan istri. Dalam perjalanan ke masjid itu, saya banyak berhitung dalam bathin. Adakah orang fakir miskin di Swiss? Bagaimana nanti daging kambing di bagikan ke masyarakat Swiss ? Masyarakat yang beragama non-Islam? Pokoknya segudang rasa ingin tahu pelaksanaan Idul Adha itu.

Saya, istri dan beberapa orang Swiss datang, memasuki ruangan di depan Masjid, sudah bisa saya baca
tulisan besar: Sate Libanon, banyak orang-orang perawakan arab membakar sate, namun sate Libanon ini dagingnya sebesar kepalan tangan, tusuknya juga tebal sekali, jadi satu tusuk sate untuk satu orang sudah cukup kenyang. Bau sedap berserakan di ruangan terbuka itu, saya telusuri dari stand satu ke stand yang lain. Ada stand Turki, banyak buat masakan khas Turki; Kebab, ada stand Maroko, banyak dasarkan hasil kerajinan tangan dan makanan khasnya Cus Cus (sejenis jagung tumbuk yang di bumbui lezat
beserta sayur), saya keliling terus, banyak anak-anak kulit hitam berseliweran dan ada pengeras suara melantunkan lagu-lagu irama padang pasir.

Saya sengaja keluar ruangan, untuk mencari dimana kambing di gantung dan disembelih? Dimana diletakkan daging yang akan dibagikan fakir miskin ? Apakah saya terlambat datang, kok nggak menemukan yang saya cari. Akhirnya saya tak temui daging apapun untuk dibagi fakir miskin. Yang saya temui justru stand-stand makanan gratis yang diadakan oleh seluruh perwakilan negara-negara Islam dunia yang berkantor di Jenewa.

Saya mulai usil, adakah stand Indonesia? Kayak apa makanan yang disajikan? Setelah berputar-putar
terlihat stand Indonesia, oh...ini dia stand kita. Di stand Indonesia, saya lihat di piring bergedel jagung, krupuk udang dll, bisa diambil untuk umum.

Di tengah ruangan itu seorang ketua panitya berpidato dalam dua bahasa: bahasa Perancis dan bahasa Arab. Di kerumunan itu saya lihat beberapa muka Melayu, setelah saya dekati, eh...ternyata orang-orang staf KBRI Jenewa.

Seorang menerangkan, bila yang pidato tadi imam masjid, asalnya dari Purworejo- Jawa Tengah. Saya jadi agak bangga ada orang Purworejo memimpin masjid internasional, rasa kedaerahan saya mulai kambuh, karena saya juga dari Jawa-Tengah, lalu ditambahkan bila pak imam tadi awalnya bekerja
di Arab Saudi, kemudian ada proyek membangun masjid di Jenewa dan diperlukan seorang pemimpin masjid.

Saya jadi ingat, ketika masih di tanah air, pernah membaca sepotong koran tentang festival istiqlal di Jakarta. Dan dalam sebuah seminar festival itu didatangkan seorang imam dari Jenewa. Ternyata
bapak imam itulah yang pernah saya baca di koran dulu. Hari-hari berikutnya saya berusaha mencari beliau tapi sayang tak bisa bertemu.

Kembali ke perayaan Idhul Adha tadi, ternyata saya amati banyak orang lokal Swiss yang hadir hanya untuk menyantap makanan khas muslim. Terbetik di pikiran, oh...begini caranya mengadakan Idhul Korban di lautan agama bukan Islam dan tak terdapat fakir miskin, caranya yang paling efektif dan memasyarakat yaitu mengundang penduduk setempat untuk mencoba makanan gratis. Beginilah
Idul Korban di negara ultra kapitalist bin modern.

Musholla Apartemen
Saya tinggal di Swiss bagian bahasa Jerman, tak jauh dari kota Luzern yang indah. Pada suatu sholat Jumat, saya dan beberapa kawan Indonesia mendatangai masjid Jami. Masjid itu kecil, ya mirip musholla saja dan lagi bangunannya hanya berupa apartemen milik orang Turki. Ketika kami masuk dan melepas sepatu, beberapa orang kulit gelap, mungkin dari Afrika dan juga dari Pakistan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.

Saya merasa keramahannya seperti di desa. Setelah melepas jaket dan wudhlu masih pakai air hangat lagi, kami mulai memasuki ruang sholat. Saya amati tak ada seorang pun yang pakai sarung. Semua bercelana panjang, sarung memang cuman adat kita saja. Yang saya lihat aneh lagi, semua orang berkaos kaki
dalam bersholat, maklum udara di luar minus 06.° C. Seorang imam berkotbah dengan bahasa Turki, kami hanya duduk saja, dan satu dua kata bisa masuk di telinga:...muslimin,...Allah,....Saya amati imamnya berkotbah, namun duduk di barisan terdepan ada anak kecil yang sedang membaca Al-Qur an dalam hati.

Dia tak mendengarkan isi kotbah. Sehabis sholat, seorang yang melantunkan suara adzan dibelakang saya tadi, menarik tangan saya dan mengatakan: Bruder (kakak)...minum teh dulu. Kami pun ikuti ajakan dia.
Berhadapan dengan ruang sholat, ada ruangan kosong sudah banyak orang duduk melingkar, sambil minum teh panas. Rupanya mereka habis sholat kebiasaanya duduk minum teh bersama. Ketika imamnya datang, dia tanya kami dengan diterjemahkan seorang yang beradzan tadi. Mungkin kita dianggap berwajah lain, kok ada umat Islam dengan wajah melayu?

Kan kebanyakan berwajah Arab atau hitam dari Afrika. Mengetahui kami dari Indonesia, imam tadi wajahnya cepat berbinar-binar dan bertutur: saya sudah naik haji, dan punya pengalaman tersendiri dengan orang Indonesia di Mekah. Ketika saya sholat di Mekkah sana, di belakang saya orang dari Indonesia. Saya sholat dia menunggu dengan sabarnya sampai sholat saya selesai. Padahal saya
persilahkan duluan, tapi dia sopan menunggu saya. Ungkap imam Turki itu.

Lalu kami asyik dengarkan cerita beliau, karena setiap kalimat diterjemahkan ke bahasa Jerman pada kami, dan para hadirin sendiri sudah mengerti bahasa Turki dengan mengangguk-anggukkan kepala, para hadirin tampak senang dan bangga. Imam tadi melanjutkan ceritanya;...Saya heran kalau di Turki, yang naik haji itu orang-orang tua, kayak saya ini, tapi di Mekah saya lihat banyak anak anak Indonesia naik haji ? Kami berdialog ringan tentang islam di tanah air. Sebelum kami meninggalkan ruangan, ada kotak amal yang di edarkan, ketika kami akan buka dompet, jangan masukkan uang kalau nggak punya banyak uang, salah seorang mengatakan pada kami.

Demikian secuil oleh-oleh dari negeri orang, selamat berpuasa bagi yang puasa dan selamat lebaran bagi yg lebaran.

Kang Bondet

Kembali ke Index>>>

Untuk Menyelesaikan Konflik Aceh
Belajarlah dari Snouch Hurgronje 
(28/10/2002)

Seminar
Budaya Melayu-Aceh
(25/10/2002)

Sekretariat PUSMA
Jalan T. Nyak Arief No. 314 Darussalam Banda Aceh, Indonesia, Telp. 0651-54558 

Email: pusma@lycos.com