Catatan dari Seminar Budaya
Modernisasi dan Perlawanan Budaya
Oleh: Ampuh Devayan
ACEH sebagai bagian kompleksitan "dunia" Melayu Nusantara, tidak
bisa dipisahkan dengan budaya Islami. Namun dalam
perkembangannya sekilas peradaban barat telah menyerang dan
menghilangkan --paling tidak memudarkan-- identitas Melayu.
Keadaan itu digambarkan sebagai rendahnya bahkan keroposnya
benteng pertahanan budaya.
Budaya Melayu yang notebene Islami belum diikuti oleh sikap
masyarakat yang sering mengabaikan -bahkan meninggalkan "ruh"
dari budayanya itu. Sehingga, ketika produk kebudayaan itu lepas
dari nilai-nilai esensinya, akan menjadi peluang munculnya
serangan budaya luar; apa yang dikatakan Direktur PUSMA Prof
Darwis A Sulaiman, terjadinya kultur dan peruntuhan nilai-nilai
yang sebelumnya menjadi "bingkai" budaya masyarakat, khususnya
budaya Melayu Aceh yang dinafasi nilai ajaran Islam.
Karenanya menjadi suatu keprihatinan ketika melihat realitas
masyarakat melayu masa kini yang "buta" terhadap peradabannya
sendiri diakibatkan munculnya serangan budaya yang gencar
menusuk jantung pertahanan budaya Islami.
Tidak ada pilihan, ketika tekad menggelorakan kemelayuan,
diperlukan perlawanan masyarakat dari serangan budaya luar yang
menujuk ke jantung budaya Islami. Mengutip Lian Sahar
--bagaimana teks sastra menjadi media dakwah dan pengetahuan
yang dapat membangun moralitas individu dan sosial.
Puisi dan prosa, tambah Lian, menjadi medium ketika menyampaikan
pengetahuan yang berhubungan dengan moralitas individu, etika
politik, masalah eskatis -dan secara luas perspektif gnostik
yang hidup dalam sejarah manusia. Sebagai teks tak ada yang
menyangkal kekayaan dan tumpah-ruahnya eksplorasi linguistik
yang dimiliki narasi-narasi sufi, apalagi melingkupi kosa kata,
ilmu persajakan, dan iramanya. Tidak juga dari filosofi agama
lain. Puisi sufi Persia tampaknya merupakan kristalisasi hasil
budaya yang paling berpengaruh dan mengagumkan sampai sekarang.
Tak ada ungkapan yang lebih berdentang dari budaya Persia yang
dimiliki dunia melebihi puisi periode tersebut. Sampai kini
sudah lebih sepuluh buku puisi Rumi diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris - meski berselang tujuh abad - sebagai tanda
bahwa puisi periode ini memiliki kekuatan yang cemerlang
menyala.
Dari Aceh, syair Hamzah al-Fanzury dapat dikatakan yang terbaik
dan tak mudah tertandingi oleh penyair yang sezaman dengannya
yang juga menggunakan bahasa Melayu sebagai olah sastra. Di
antara cendekiawan dan sastrawan yang mengkonsentrasikan diri
dan terikat dalam "klecamuk proses karya" syair-syair
al-Fanzury, boleh disebut Prof A Teeuw, Prof Brakal Henk Maier,
Prof Ali Hasjmy, Amir Hamzah, Najib al-Attas, Sitor Situmorang,
Sutardji Chalzoum Bachri, dan Abdul Hadi WM.
Sebagian mereka menekankan pada aspek scientifity. Sebagian lain
larut dan menyatu dalam permenungan karena terbawa getar
plesurel jouissance prosaiknya. Doktrin agama (Islam) telah
menafasi karya-karya seni dan sastra di Aceh sehingga
menggambarkan adanya jalinan erat seni di Aceh dengan
budaya local kelompok penyebarnya. Menurut Lian Sahar, kelompok
penyebar ini tidak berdiri sendiri.
Budaya Gujarat dan Persia merupakan dua budaya yang walaupun
mengalami proses inkorporasi dengan Islam yang pro-hanif
(kedamaian, kepasrahan) dan tauhid (keesaan), tapi tak
sepenuhnya mengaborsi keyakinan tradisional dalam ketekunan
karya seni mereka, yang telah dihasilkan ribuan tahun sebelum
Islam.
"Dalam buku Living Traditions of India; Crafts of Gujarat
(1985), ditulis bentuk-bentuk tempaan seni Aceh baik kraftangan,
alat musik, arsitektur ternyata memiliki hubungan paradigmatic
dengan lingkungan Gujarat. Gunongan yang berada di Banda Aceh
masih mengambil filosofi Hindu-Budha sebagai pusat alam semesta
(Barbara Leight, Hands of Time:The Crafts of Acheh,
1987). Bukan mustahil raja-raja Aceh di abad 17 sengaja
menjadikan bangunan-bangunan seperti ini sebagai simbol
kewibawaan dan kehormatan, serta menganggap lingkup kerajaannya
sebagai pusat kekuasaan semesta.
Lipatan-lipan bangunan yang menyerupai kelopak bunga teratai
menunjukkan pengaruh pra-Islam telah diakomodir oleh penguasa
kerajaan Aceh. Bentuk makam kuno yang berada di Geudong, Aceh
Utara, Banda Aceh, dan Aceh Besar dibentuk dengan pola simetris
dan menyerupai bangunan-bangunan kuil di kerajaan Mongol, India.
Adapun bentuk sulaman, perhiasan gelang tangan dan kaki, serta
ikat pinggang pengantin perempuan juga memiliki corak dan bentuk
yang hampir sama pula. Namun dalam desain gambar, hasil tenunan
Aceh telah menghilangkan bentuk-bentuk binatang, dan
menggantikannya. dengan gambar bunga, buah-buahan atau
mengulangi arabesque dan olahan geometric.
Jelas pengaruh Islam secara ekstrim dan eksesif turur berperan.
Baru pada tahun 70-an para desainer di daerah Alas berani
memasukkan figure binatang dan orang sebagai hiasan sulaman.
Namun dalam hal warna, agaknya merah, putih dan hitam tetap
menjadi pilihan utama setiap jalinan barang tenunan. Benda-benda
kraftangan Aceh tampil sangat menarik disaat memperingati
tahap-tahap kehidupan seseorang yang dirayakan dengan aura
magico-religious begitu meriah, dan biasanya dipergelarkan
hiasan-hiasan dan pakaian istimewa yang berbeda dari pakaian
yang dikenakan sehari-hari.
Keunduri juga peusijeuk (tepung tawar, dalam istilah
Melayu) --ritual memohon keharmonisan, kesejukan -- terutama
bagi yang melaksanakan perayaan -sesuatu yang hampir sama dalam
ekaristi agama Hindu, bertujuan mengambil hati para dewa-dewi
agar ia tidak sesuka hati menurunkan murkanya kepada penduduk
bumi, dijaga keselamatan panen hasil bumi dari gangguan hewan
ataupun roh jahat.
Peusijeuk menjadi inti gemuruh perayaan. Mulai membangun
rumah,acara sunatan, aqiqah, perpisahan hingga penyambutan
jemaah haji yang baru kembali dari tanah suci. Peusijeuk
menjadi lambang kerukunan, keharmonisan, keseimbangan spiritual,
dan kerelaan.
Biasanya alat-alat peusijeuk terbuat dari kuningan, antara lain
mundam(kendi kecil), tabsi (talam besar) calok (tempat air), dan
batee ranup(tempat sirih). Bentuk-bentuk kraftangan yang dibuat
mengisyaratkan sebagian pesan-pesan mistis spiritual yang hidup
dalam masyarakat Aceh.
Kemasan estetika multikultural dengan muatan nilai-nilai Islami
itu -- menandai Aceh dengan karakteristik dan keistimewaannya.
Tuanku Luckman Sinar Basarsyah-Ii SH, tokoh adat Melayu di
Sumatera Utara, menyimpulkan, bahwa masyarakat budaya Aceh
adalah sebahagian dari Budaya Melayu Islam di Nusantara. Namun
Aceh telah memberikan inspirasi kepada wilayah Melayu lainnya di
Nusantara.
Aneka unsur kebudayaan seperti kesenian, sastra dan monumen
budaya lainnya dengan identitas multicultural di Aceh menjadi
tidak "liar" karena ditunjang oleh system norma, aturan dan
hukum yang dijadikan pedoman atau diinternalisasikan bagi
perilaku dan system social masyarakat Aceh. "Bagaimana seniman
Seudati dengan daya imajinasi dan kreatifitas tinggi
menerjemahkan alam, agama, kehidupan dan realitas social
politiknya ke bentuk tarian," timpal Nurdin Daood yang
menyajikan topik tentang 'ruh' kesenian Aceh.
Multikutural dikemas sedemikian rupa tanpa harus kehilangan
"ruh". Apa yang dilansir Ismail Raji al-Faruqi dalam "Seni
Tauhid", sejarah menjadi saksi bahwa umat Islam belum pernah
memiliki satu lembaga --sekecil apapun-- yang secara formal dan
sistematis guna melakukan kajian tentang seni secara utuh.
--akibatnya, seni dalam Islam seakan terkucil dari masyarakatnya
sendiri maupun dari
perkembangan seni secara luas karena tidak ada instrumen untuk
dikomunikasikan.
Sebagai sebuah kebudayaan yang lengkap, seperti diungkapkan HAR
Gibb, Islam memiliki aspek seni yang berkembang seiring dengan
perkembangan ummah. Namun karena kelengahan sejarah, aspek ini
hanya merupakan puing berserakan di sela-sela karya pinggiran
para pemikir di sana sini yang muncul secara sporadis. Untuk itu
menjadi langkah awal yang signifikan bagi usaha perumusan dan
pengembangan budaya "Islam" dan menjadi amanah bagi yang hidup
di zaman ini.
Dengan begitu, dapat diperjuangkan bagi pencerahkan kembali Aceh
dalam bangunan peradaban baru yang multiculturalist.
Para pakar budaya dan adat Melayu yang hadir dalam seminar
budaya internasional itu masih merasa optimis, berlangsung
sejarah yang terbuka lebar -walaupun di era kini masih sulit
melahirkan karya genuine. Itu bukan semata karena situasi
konflik yang tak menguntungkan permenungan, tapi lebih pada
setiap pribadi yang optimal mempersiapkan gagasan.
Seperti optimisme Lian Sahar --bahwa proses kreatif adalah
dialogis bukan monologis. Artinya, harus mampu membelah
kemajakan imajinasi pengetahuan masyarakat dan persepsi sempit
elite intelektualnya. Memang kita tak dapat mengharapkan semua
hadir sekali jadi. Karenanya diperlukan rekontruksi kesadaran
pemikir, kerja keras seniman, sikap empatik para penguasanya dan
apresiasi positif dari masyarakatnya.
Gerilya dengan mengusung multiculturalist dapat menghempang
gempuran budaya asing yang mengancam identitas budaya Aceh
Islami. Perlawanan budaya ini akan bisa dilakukan dengan poros
bagaimana refensi Islam masuk dalam proses kreatif seni.
"Pandangan tentang keindahan yang muncul dari pandangan dunia
Tawhid yang merupakan inti ajaran Islam,yaitu keindahan yang
membawa kesadaran penanggap kepada ide transendensi," kata
al-Faruqi; Cultural Atlas of Islam (1986). Kemudian, melakukan
internalisasi diktum-diktum itu ke dalam kalbu, dan sekaligus
terkejawantahkan ke dalam aksi.(ampuh devayan)
Kembali ke Index>>> |