PUSMA Online

 

PUSAT STUDI MELAYU-ACEH

www.pusma.8m.net

 Artikel
 Puisi
 Prosa
 Galeri Foto
 Sahabat
 Agenda

Catatan dari Seminar Budaya
Modernisasi dan Perlawanan Budaya

Oleh: Ampuh Devayan

ACEH sebagai bagian kompleksitan "dunia" Melayu Nusantara, tidak bisa dipisahkan dengan budaya Islami. Namun dalam perkembangannya sekilas peradaban barat telah menyerang dan menghilangkan --paling tidak memudarkan-- identitas Melayu. Keadaan itu digambarkan sebagai rendahnya bahkan keroposnya benteng pertahanan budaya.

Budaya Melayu yang notebene Islami belum diikuti oleh sikap masyarakat yang sering mengabaikan -bahkan meninggalkan "ruh" dari budayanya itu. Sehingga, ketika produk kebudayaan itu lepas dari nilai-nilai esensinya, akan menjadi peluang munculnya serangan budaya luar; apa yang dikatakan Direktur PUSMA Prof Darwis A Sulaiman, terjadinya kultur dan peruntuhan nilai-nilai yang sebelumnya menjadi "bingkai" budaya masyarakat, khususnya budaya Melayu Aceh yang dinafasi nilai ajaran Islam.

Karenanya menjadi suatu keprihatinan ketika melihat realitas masyarakat melayu masa kini yang "buta" terhadap peradabannya sendiri diakibatkan munculnya serangan budaya yang gencar menusuk jantung pertahanan budaya Islami.

Tidak ada pilihan, ketika tekad menggelorakan kemelayuan, diperlukan perlawanan masyarakat dari serangan budaya luar yang menujuk ke jantung budaya Islami. Mengutip Lian Sahar --bagaimana teks sastra menjadi media dakwah dan pengetahuan yang dapat membangun moralitas individu dan sosial.

Puisi dan prosa, tambah Lian, menjadi medium ketika menyampaikan pengetahuan yang berhubungan dengan moralitas individu, etika politik, masalah eskatis -dan secara luas perspektif gnostik yang hidup dalam sejarah manusia. Sebagai teks tak ada yang menyangkal kekayaan dan tumpah-ruahnya eksplorasi linguistik yang dimiliki narasi-narasi sufi, apalagi melingkupi kosa kata, ilmu persajakan, dan iramanya. Tidak juga dari filosofi agama lain. Puisi sufi Persia tampaknya merupakan kristalisasi hasil budaya yang paling berpengaruh dan mengagumkan sampai sekarang.

Tak ada ungkapan yang lebih berdentang dari budaya Persia yang dimiliki dunia melebihi puisi periode tersebut. Sampai kini sudah lebih sepuluh buku puisi Rumi diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris - meski berselang tujuh abad - sebagai tanda bahwa puisi periode ini memiliki kekuatan yang cemerlang menyala.

Dari Aceh, syair Hamzah al-Fanzury dapat dikatakan yang terbaik dan tak mudah tertandingi oleh penyair yang sezaman dengannya yang juga menggunakan bahasa Melayu sebagai olah sastra. Di antara cendekiawan dan sastrawan yang mengkonsentrasikan diri dan terikat dalam "klecamuk proses karya" syair-syair al-Fanzury, boleh disebut Prof A Teeuw, Prof Brakal Henk Maier, Prof Ali Hasjmy, Amir Hamzah, Najib al-Attas, Sitor Situmorang, Sutardji Chalzoum Bachri, dan Abdul Hadi WM.

Sebagian mereka menekankan pada aspek scientifity. Sebagian lain larut dan menyatu dalam permenungan karena terbawa getar plesurel jouissance prosaiknya. Doktrin agama (Islam) telah menafasi karya-karya seni dan sastra di Aceh sehingga menggambarkan adanya jalinan erat seni di Aceh dengan
budaya local kelompok penyebarnya. Menurut Lian Sahar, kelompok penyebar ini tidak berdiri sendiri.

Budaya Gujarat dan Persia merupakan dua budaya yang walaupun mengalami proses inkorporasi dengan Islam yang pro-hanif (kedamaian, kepasrahan) dan tauhid (keesaan), tapi tak sepenuhnya mengaborsi keyakinan tradisional dalam ketekunan karya seni mereka, yang telah dihasilkan ribuan tahun sebelum Islam.

"Dalam buku Living Traditions of India; Crafts of Gujarat (1985), ditulis bentuk-bentuk tempaan seni Aceh baik kraftangan, alat musik, arsitektur ternyata memiliki hubungan paradigmatic dengan lingkungan Gujarat. Gunongan yang berada di Banda Aceh masih mengambil filosofi Hindu-Budha sebagai pusat alam semesta (Barbara Leight, Hands of Time:The Crafts of Acheh, 1987). Bukan mustahil raja-raja Aceh di abad 17 sengaja menjadikan bangunan-bangunan seperti ini sebagai simbol kewibawaan dan kehormatan, serta menganggap lingkup kerajaannya sebagai pusat kekuasaan semesta.

Lipatan-lipan bangunan yang menyerupai kelopak bunga teratai menunjukkan pengaruh pra-Islam telah diakomodir oleh penguasa kerajaan Aceh. Bentuk makam kuno yang berada di Geudong, Aceh Utara, Banda Aceh, dan Aceh Besar dibentuk dengan pola simetris dan menyerupai bangunan-bangunan kuil di kerajaan Mongol, India.

Adapun bentuk sulaman, perhiasan gelang tangan dan kaki, serta ikat pinggang pengantin perempuan juga memiliki corak dan bentuk yang hampir sama pula. Namun dalam desain gambar, hasil tenunan Aceh telah menghilangkan bentuk-bentuk binatang, dan menggantikannya. dengan gambar bunga, buah-buahan atau mengulangi arabesque dan olahan geometric.

Jelas pengaruh Islam secara ekstrim dan eksesif turur berperan. Baru pada tahun 70-an para desainer di daerah Alas berani memasukkan figure binatang dan orang sebagai hiasan sulaman. Namun dalam hal warna, agaknya merah, putih dan hitam tetap menjadi pilihan utama setiap jalinan barang tenunan. Benda-benda kraftangan Aceh tampil sangat menarik disaat memperingati tahap-tahap kehidupan seseorang yang dirayakan dengan aura magico-religious begitu meriah, dan biasanya dipergelarkan hiasan-hiasan dan pakaian istimewa yang berbeda dari pakaian yang dikenakan sehari-hari.

Keunduri juga peusijeuk (tepung tawar, dalam istilah Melayu) --ritual memohon keharmonisan, kesejukan -- terutama bagi yang melaksanakan perayaan -sesuatu yang hampir sama dalam ekaristi agama Hindu, bertujuan mengambil hati para dewa-dewi agar ia tidak sesuka hati menurunkan murkanya kepada penduduk bumi, dijaga keselamatan panen hasil bumi dari gangguan hewan ataupun roh jahat.

Peusijeuk menjadi inti gemuruh perayaan. Mulai membangun rumah,acara sunatan, aqiqah, perpisahan hingga penyambutan jemaah haji yang baru kembali dari tanah suci. Peusijeuk menjadi lambang kerukunan, keharmonisan, keseimbangan spiritual, dan kerelaan.

Biasanya alat-alat peusijeuk terbuat dari kuningan, antara lain mundam(kendi kecil), tabsi (talam besar) calok (tempat air), dan batee ranup(tempat sirih). Bentuk-bentuk kraftangan yang dibuat mengisyaratkan sebagian pesan-pesan mistis spiritual yang hidup dalam masyarakat Aceh.

Kemasan estetika multikultural dengan muatan nilai-nilai Islami itu -- menandai Aceh dengan karakteristik dan keistimewaannya. Tuanku Luckman Sinar Basarsyah-Ii SH, tokoh adat Melayu di Sumatera Utara, menyimpulkan, bahwa masyarakat budaya Aceh adalah sebahagian dari Budaya Melayu Islam di Nusantara. Namun Aceh telah memberikan inspirasi kepada wilayah Melayu lainnya di Nusantara.

Aneka unsur kebudayaan seperti kesenian, sastra dan monumen budaya lainnya dengan identitas multicultural di Aceh menjadi tidak "liar" karena ditunjang oleh system norma, aturan dan hukum yang dijadikan pedoman atau diinternalisasikan bagi perilaku dan system social masyarakat Aceh. "Bagaimana seniman Seudati dengan daya imajinasi dan kreatifitas tinggi menerjemahkan alam, agama, kehidupan dan realitas social politiknya ke bentuk tarian," timpal Nurdin Daood yang menyajikan topik tentang 'ruh' kesenian Aceh.

Multikutural dikemas sedemikian rupa tanpa harus kehilangan "ruh". Apa yang dilansir Ismail Raji al-Faruqi dalam "Seni Tauhid", sejarah menjadi saksi bahwa umat Islam belum pernah memiliki satu lembaga --sekecil apapun-- yang secara formal dan sistematis guna melakukan kajian tentang seni secara utuh. --akibatnya, seni dalam Islam seakan terkucil dari masyarakatnya sendiri maupun dari
perkembangan seni secara luas karena tidak ada instrumen untuk dikomunikasikan.

Sebagai sebuah kebudayaan yang lengkap, seperti diungkapkan HAR Gibb, Islam memiliki aspek seni yang berkembang seiring dengan perkembangan ummah. Namun karena kelengahan sejarah, aspek ini hanya merupakan puing berserakan di sela-sela karya pinggiran para pemikir di sana sini yang muncul secara sporadis. Untuk itu menjadi langkah awal yang signifikan bagi usaha perumusan dan pengembangan budaya "Islam" dan menjadi amanah bagi yang hidup di zaman ini.

Dengan begitu, dapat diperjuangkan bagi pencerahkan kembali Aceh dalam bangunan peradaban baru yang multiculturalist.
Para pakar budaya dan adat Melayu yang hadir dalam seminar budaya internasional itu masih merasa optimis, berlangsung sejarah yang terbuka lebar -walaupun di era kini masih sulit melahirkan karya genuine. Itu bukan semata karena situasi konflik yang tak menguntungkan permenungan, tapi lebih pada setiap pribadi yang optimal mempersiapkan gagasan.

Seperti optimisme Lian Sahar --bahwa proses kreatif adalah dialogis bukan monologis. Artinya, harus mampu membelah kemajakan imajinasi pengetahuan masyarakat dan persepsi sempit elite intelektualnya. Memang kita tak dapat mengharapkan semua hadir sekali jadi. Karenanya diperlukan rekontruksi kesadaran pemikir, kerja keras seniman, sikap empatik para penguasanya dan apresiasi positif dari masyarakatnya.

Gerilya dengan mengusung multiculturalist dapat menghempang gempuran budaya asing yang mengancam identitas budaya Aceh Islami. Perlawanan budaya ini akan bisa dilakukan dengan poros bagaimana refensi Islam masuk dalam proses kreatif seni. "Pandangan tentang keindahan yang muncul dari pandangan dunia Tawhid yang merupakan inti ajaran Islam,yaitu keindahan yang membawa kesadaran penanggap kepada ide transendensi," kata al-Faruqi; Cultural Atlas of Islam (1986). Kemudian, melakukan internalisasi diktum-diktum itu ke dalam kalbu, dan sekaligus terkejawantahkan ke dalam aksi.(ampuh devayan)

Kembali ke Index>>>

Untuk Menyelesaikan Konflik Aceh
Belajarlah dari Snouch Hurgronje 
(28/10/2002)

Seminar
Budaya Melayu-Aceh
(25/10/2002)

Sekretariat PUSMA
Jalan T. Nyak Arief No. 314 Darussalam Banda Aceh, Indonesia, Telp. 0651-54558 

Email: pusma@lycos.com