Menggagas Karya Sastra yang Menggugah
Oleh: Mustafa Ismail
AGAK sulit merumuskan bagaimana sebenarnya karya sastra yang
menggugah itu. Apakah isinya menyajikan potret kekerasan,
kesedihan, kedukaan, dan perasaan-perasaan sentimentil. Atau
karya yang menyajikan semangat perlawanan -- bukan hanya melawan
kekerasan dan ketidak-adilan, juga melawan perasaan sentimentil,
kesedihan, kedukaan, haru-biru, dan seterusnya.
Karya yang menyajikan potret kekerasan, kesedihan dan kedukaan
sudah banyak dipublikasikan di media cetak, bahkan dibukukan.
Sebut saja misalnya, antologi puisi "Keranda-Keranda", dan
kumpulan cerpen "Remuk", keduanya diterbitkan oleh Dewan
Kesenian Banda Aceh (DKB). Sejumlah penyair dan cerpenis di Aceh
telah menunjukkan komitmennya --mengangkat nuansa kekerasan yang
dialami oleh masyarakat Aceh dalam karya-karya mereka.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, haruskah keprihatinan dan
kesedihan itu diungkapkan dalam corak yang sedih pula atau dalam
bentuk sebuah potret. Sehingga pembaca hanya menemukan hal yang
sama dari apa yang mereka alami sehari-hari: darah, air mata,
tembakan, siksaan, pembakaran, dan seterusnya. Apa yang dialami
dan dirasakan masyarakat adalah kenyataan riil dan lebih dahsyat
dari apa yang disuguhkan sastrawan. Masyarakat juga mengikuti
berita media lain, bahkan disajikan lebuh detil, akurat, dan
yang pasti pesan-pesannya lebih cepat diterima masyarakat.
Kecuali memang, karya-karya itu diniatkan sebagai bentuk
kampanye anti kekerasan atau kampanye hak asasi manusia. Kalau
itu yang diinginkan barangkali bisa diterima. Tetapi juga mesti
diingat, kampanye itu harus dilakukan secara terencana dan
sistematis. Kampanye tidak bisa dilakukan secara sporadis dan
berdasarkan mood masing-masing. Niat itu harus dituangkan dalam
sebuah konsep yang matang, sehingga sasarannya tercapai.
Semua proses dalam kampanye itu harus dilakukan secara terukur.
Misalnya, kapan waktu yang tepat, di mana, melibatkan siapa
saja, siapa audiennya, karya bagaimana yang diangkat, tema apa
yang dipilih, dan sebagainya. Karya-karya yang dipilih sebagai
materi kampanye juga harus variatif, tidak sama-sebangun.
Dan untuk menyuguhkan itu kepada masyarakat yang menjadi sasaran
kampanye -- apakah itu masyarakat di luar Aceh bahkan di luar
negeri -- harus diantarkan dengan sebuah prolog yang menjelaskan
semua hal berkait materi yang disampaikan. Bahkan bila perlu,
untuk lebih mengefektifkan kampanye, seniman juga mencurahkan
pikiran dan gagasan-gagasannya lewat tulisan, apakah itu esai,
pidato, pamplet, atau lainnya. Tak kalah penting adalah
data-data statistik, misalnya data korban kekerasan,
kliping-kliping koran mengenai kasus-kasus kekerasan, dan
sebagainya.
Rumit memang. Tetapi proses itu harus dilalui untuk mencapai
hasil yang diinginkan. Tanpa melalui itu, karya-karya yang
dihasilkan hanya dipahami sebagai gumaman biasa. Dan apabila
gumaman itu monoton, atau apa yang disampaikan itu-itu saja,
tentu tidak akan mendapat tempat dalam hati orang yang
membacanya. Ia hanya menjadi rutinitas saja. Sebuah rutinitas
tentu tidak akan menarik, untuk dibahas dan diceritakan.
Hal lain, menyajikan potret kekerasan dan kedukaan secara
terus-menerus membuat suasana duka menjadi teramat panjang.
Ibarat sebuah keluarga yang berduka, bila semua anggota keluarga
terlalu lama larut dalam duka, dalam waktu yang lama, otomatis
ia tidak akan punya kesempatan untuk mengaksentuasikan dirinya
secara lebih baik. Ia tidak akan bisa berpikir lebih tenang,
jernih dan kritis, tentang apa yang harus dilakukan.
Namun bila ada satu atau dua orang anggota keluarga itu yang
keluar dari suasana duka itu, akan membikin suasana lebih
berwarna dan tidak monoton. Ia akan bisa merefleksikan dan
menegaskan kehadirannya secara lebih baik. Bisa jadi pula, ia
akan bisa menggugah anggota keluarga yang lain untuk tidak terus
menerus larut dalam duka yang panjang.
Memang, tidak bisa dinegasikan bahwa kekerasan dan kedukaan
memang terus berlangsung hingga hari ini di Aceh. Tetapi
membiarkan hati dan pikiran larut terus menerus dalam suasana
itu juga tidak menyelesaikan persoalan. Di tengah "krisis" atau
sebuah "gejolak", yang diperlukan adalah sikap kritis dan
pikiran jernih. Bukan air mata atau perasaan-perasaan
sentimentil lainnya.
Kalau sastrawan atau seniman semata-mata larut dalam suasana
seperti itu kapan kita sempat memikirkan hal-hal yang lain.
Karena itu, tidak bisa lain dan tidak bisa tidak, sastrawan atau
seniman mesti menegaskan posisi.
Apakah ia hanya sebagai pembawa kabar? Penyampai pesan? pesan
moral? Sebagai pendorong sebuah perubahan? Sebagai saksi yang
mencatat apa saja yang dilihat, disaksikan, didengar, dan
dirasakan? Orang?orang yang terus berteriak terhadap ketimpangan
dan ketidakadilan yang terjadi? Atau sebagai orang yang selalu
menawarkan pencerahan dan kebangkitan?
Posisi ini perlu dirumuskan untuk menentukan peran apa yang
harus dimainkan. Dengan demikian, karya-karya yang diciptakan
juga merupakan refleksi peran itu. Itu sangat penting agar
keberadaannya punya makna bagi sejarah, tidak sekedar hadir,
tetapi ada sebuah komitmen yang kuat untuk itu. Sehingga
karya-karya itu tidak gamang berhadapan dengan kenyataan.
Ibarat seorang bayi, ia lahir lewat sebuah komitmen dan sikap
tertentu orang tuanya. Dan itu didasari sebuah proses sejarah
yang mendukung kelahirannya: ada pernikahan atau perkawinan, dan
masing-masing pihak mengerti betul suka duka dan risiko yang
bakal mereka hadapi. Sehingga nanti, bayi yang dilahirkan bisa
mengurutkan dan mempertanggungjawabkan sejarah kelahirannya.
Biografinya menjadi lengkap.
Memang, tiap karya mempunyai sejarah kelahirannya masing-masing.
Persoalannya, apakah kelahiran itu didasarkan sebuah komitmen
tertentu yang kuat atau hanya lahir dari sebuah perasaan atau
rasa sentimentil tertentu: tidak bicara apa-apa, cuma
menggambarkan perasaan, bukan sebuah sikap. Karya yang demikian
hanya enak dan menarik untuk dinikmati sendiri, tidak memberi
gugahan tertentu bagi orang lain.
Barangkali diperlukan re-orientasi terhadap sikap berkesenian
para seniman atau sastrawan. Mungkin semacam metamoforsis,
istilah cerpenis Azhari dalam sebuah diskusi terbatas di
sekretariat Perhimpunan Seniman Aceh Jabotabek (SAJAK), Jakarta,
9 Oktober lalu. Tetapi re-orientasi itu tidak bisa didesakkan,
apalagi dipaksakan. Ia harus lahir dari sebuah kesadaran
individu masing-masing untuk meneguhkan peran dan fungsinya di
tengah masyarakat.
Karya kesenian memang tidak bisa dipretensikan untuk mengubah
keadaan, apalagi menjungkir-balikkan dunia. Tetapi karya seni
bisa memberi sebuah gugahan tertentu terhadap penikmatnya.
Itulah hal minimal yang bisa diharapkan. Dan gugahan itu hanya
bisa didapat dari karya-karya yang tidak sekedar menyajikan
perasaan sentimentil dan potret, tetapi juga sebuah sikap,
sebuah pikiran yang mencerahkan.
Karya-karya itu harus bisa memberikan sesuatu yang lain, dari
apa yang kerap dialami sendiri oleh masyarakat atau yang kerap
mereka dengarkan lewat radio, televisi, dan media cetak. Ia
harus berbeda dengan pengalaman masyarakat dan berita media
massa.
Sebab, karya seni bukan corong dari sebuah peristiwa. Ia bukan
kamera yang hasilnya berupa gambar dan foto-foto. Karya seni
mesti bisa memberikan sesuatu yang mencerahkan. Juga menggugah
semangat orang untuk bangkit. Ini adalah tantangan yang harus
dijawab oleh orang-orang yang dengan sadar memilih kesenian
sebagai bagian dari hidupnya.
Kembali ke Index>>> |