PUSMA Online

 

PUSAT STUDI MELAYU-ACEH

www.pusma.8m.net

 Artikel
 Puisi
 Prosa
 Galeri Foto
 Sahabat
 Agenda

 Artikel:

Menggagas Karya Sastra yang Menggugah

Oleh: Mustafa Ismail

AGAK sulit merumuskan bagaimana sebenarnya karya sastra yang menggugah itu. Apakah isinya menyajikan potret kekerasan, kesedihan, kedukaan, dan perasaan-perasaan sentimentil. Atau karya yang menyajikan semangat perlawanan -- bukan hanya melawan kekerasan dan ketidak-adilan, juga melawan perasaan sentimentil, kesedihan, kedukaan, haru-biru, dan seterusnya.

Karya yang menyajikan potret kekerasan, kesedihan dan kedukaan sudah banyak dipublikasikan di media cetak, bahkan dibukukan. Sebut saja misalnya, antologi puisi "Keranda-Keranda", dan kumpulan cerpen "Remuk", keduanya diterbitkan oleh Dewan Kesenian Banda Aceh (DKB). Sejumlah penyair dan cerpenis di Aceh telah menunjukkan komitmennya --mengangkat nuansa kekerasan yang dialami oleh masyarakat Aceh dalam karya-karya mereka.

Yang menjadi pertanyaan kemudian, haruskah keprihatinan dan kesedihan itu diungkapkan dalam corak yang sedih pula atau dalam bentuk sebuah potret. Sehingga pembaca hanya menemukan hal yang sama dari apa yang mereka alami sehari-hari: darah, air mata, tembakan, siksaan, pembakaran, dan seterusnya. Apa yang dialami dan dirasakan masyarakat adalah kenyataan riil dan lebih dahsyat dari apa yang disuguhkan sastrawan. Masyarakat juga mengikuti berita media lain, bahkan disajikan lebuh detil, akurat, dan yang pasti pesan-pesannya lebih cepat diterima masyarakat.

Kecuali memang, karya-karya itu diniatkan sebagai bentuk kampanye anti kekerasan atau kampanye hak asasi manusia. Kalau itu yang diinginkan barangkali bisa diterima. Tetapi juga mesti diingat, kampanye itu harus dilakukan secara terencana dan sistematis. Kampanye tidak bisa dilakukan secara sporadis dan berdasarkan mood masing-masing. Niat itu harus dituangkan dalam sebuah konsep yang matang, sehingga sasarannya tercapai.

Semua proses dalam kampanye itu harus dilakukan secara terukur. Misalnya, kapan waktu yang tepat, di mana, melibatkan siapa saja, siapa audiennya, karya bagaimana yang diangkat, tema apa yang dipilih, dan sebagainya. Karya-karya yang dipilih sebagai materi kampanye juga harus variatif, tidak sama-sebangun.

Dan untuk menyuguhkan itu kepada masyarakat yang menjadi sasaran kampanye -- apakah itu masyarakat di luar Aceh bahkan di luar negeri -- harus diantarkan dengan sebuah prolog yang menjelaskan semua hal berkait materi yang disampaikan. Bahkan bila perlu, untuk lebih mengefektifkan kampanye, seniman juga mencurahkan pikiran dan gagasan-gagasannya lewat tulisan, apakah itu esai, pidato, pamplet, atau lainnya. Tak kalah penting adalah data-data statistik, misalnya data korban kekerasan, kliping-kliping koran mengenai kasus-kasus kekerasan, dan sebagainya.

Rumit memang. Tetapi proses itu harus dilalui untuk mencapai hasil yang diinginkan. Tanpa melalui itu, karya-karya yang dihasilkan hanya dipahami sebagai gumaman biasa. Dan apabila gumaman itu monoton, atau apa yang disampaikan itu-itu saja, tentu tidak akan mendapat tempat dalam hati orang yang membacanya. Ia hanya menjadi rutinitas saja. Sebuah rutinitas tentu tidak akan menarik, untuk dibahas dan diceritakan.

Hal lain, menyajikan potret kekerasan dan kedukaan secara terus-menerus membuat suasana duka menjadi teramat panjang. Ibarat sebuah keluarga yang berduka, bila semua anggota keluarga terlalu lama larut dalam duka, dalam waktu yang lama, otomatis ia tidak akan punya kesempatan untuk mengaksentuasikan dirinya secara lebih baik. Ia tidak akan bisa berpikir lebih tenang, jernih dan kritis, tentang apa yang harus dilakukan.

Namun bila ada satu atau dua orang anggota keluarga itu yang keluar dari suasana duka itu, akan membikin suasana lebih berwarna dan tidak monoton. Ia akan bisa merefleksikan dan menegaskan kehadirannya secara lebih baik. Bisa jadi pula, ia akan bisa menggugah anggota keluarga yang lain untuk tidak terus menerus larut dalam duka yang panjang.

Memang, tidak bisa dinegasikan bahwa kekerasan dan kedukaan memang terus berlangsung hingga hari ini di Aceh. Tetapi membiarkan hati dan pikiran larut terus menerus dalam suasana itu juga tidak menyelesaikan persoalan. Di tengah "krisis" atau sebuah "gejolak", yang diperlukan adalah sikap kritis dan pikiran jernih. Bukan air mata atau perasaan-perasaan sentimentil lainnya.

Kalau sastrawan atau seniman semata-mata larut dalam suasana seperti itu kapan kita sempat memikirkan hal-hal yang lain. Karena itu, tidak bisa lain dan tidak bisa tidak, sastrawan atau seniman mesti menegaskan posisi.

Apakah ia hanya sebagai pembawa kabar? Penyampai pesan? pesan moral? Sebagai pendorong sebuah perubahan? Sebagai saksi yang mencatat apa saja yang dilihat, disaksikan, didengar, dan dirasakan? Orang?orang yang terus berteriak terhadap ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi? Atau sebagai orang yang selalu menawarkan pencerahan dan kebangkitan?

Posisi ini perlu dirumuskan untuk menentukan peran apa yang harus dimainkan. Dengan demikian, karya-karya yang diciptakan juga merupakan refleksi peran itu. Itu sangat penting agar keberadaannya punya makna bagi sejarah, tidak sekedar hadir, tetapi ada sebuah komitmen yang kuat untuk itu. Sehingga karya-karya itu tidak gamang berhadapan dengan kenyataan.

Ibarat seorang bayi, ia lahir lewat sebuah komitmen dan sikap tertentu orang tuanya. Dan itu didasari sebuah proses sejarah yang mendukung kelahirannya: ada pernikahan atau perkawinan, dan masing-masing pihak mengerti betul suka duka dan risiko yang bakal mereka hadapi. Sehingga nanti, bayi yang dilahirkan bisa mengurutkan dan mempertanggungjawabkan sejarah kelahirannya. Biografinya menjadi lengkap.

Memang, tiap karya mempunyai sejarah kelahirannya masing-masing. Persoalannya, apakah kelahiran itu didasarkan sebuah komitmen tertentu yang kuat atau hanya lahir dari sebuah perasaan atau rasa sentimentil tertentu: tidak bicara apa-apa, cuma menggambarkan perasaan, bukan sebuah sikap. Karya yang demikian hanya enak dan menarik untuk dinikmati sendiri, tidak memberi gugahan tertentu bagi orang lain.

Barangkali diperlukan re-orientasi terhadap sikap berkesenian para seniman atau sastrawan. Mungkin semacam metamoforsis, istilah cerpenis Azhari dalam sebuah diskusi terbatas di sekretariat Perhimpunan Seniman Aceh Jabotabek (SAJAK), Jakarta, 9 Oktober lalu. Tetapi re-orientasi itu tidak bisa didesakkan, apalagi dipaksakan. Ia harus lahir dari sebuah kesadaran individu masing-masing untuk meneguhkan peran dan fungsinya di tengah masyarakat.

Karya kesenian memang tidak bisa dipretensikan untuk mengubah keadaan, apalagi menjungkir-balikkan dunia. Tetapi karya seni bisa memberi sebuah gugahan tertentu terhadap penikmatnya. Itulah hal minimal yang bisa diharapkan. Dan gugahan itu hanya bisa didapat dari karya-karya yang tidak sekedar menyajikan perasaan sentimentil dan potret, tetapi juga sebuah sikap, sebuah pikiran yang mencerahkan.

Karya-karya itu harus bisa memberikan sesuatu yang lain, dari apa yang kerap dialami sendiri oleh masyarakat atau yang kerap mereka dengarkan lewat radio, televisi, dan media cetak. Ia harus berbeda dengan pengalaman masyarakat dan berita media massa.

Sebab, karya seni bukan corong dari sebuah peristiwa. Ia bukan kamera yang hasilnya berupa gambar dan foto-foto. Karya seni mesti bisa memberikan sesuatu yang mencerahkan. Juga menggugah semangat orang untuk bangkit. Ini adalah tantangan yang harus dijawab oleh orang-orang yang dengan sadar memilih kesenian sebagai bagian dari hidupnya.

 Kembali ke Index>>>

Untuk Menyelesaikan Konflik Aceh
Belajarlah dari Snouch Hurgronje 
(28/10/2002)

Seminar
Budaya Melayu-Aceh
(25/10/2002)

Sekretariat PUSMA
Jalan T. Nyak Arief No. 314 Darussalam Banda Aceh, Indonesia, Telp. 0651-54558 

Email: pusma@lycos.com