Hugo; Keteraturan
Ingatan
Ketika saya di-sms ada diskusi mengenai Victor Hugo di TUK
(Teater Utan Kayu), sungguh tidak begitu tertarik. Karena dalam
anggapan saya, tentulah diskusi tersebut akan merayakan sesuatu
yang mengagumkan tentang penulisnya, kebesaran riwayatnya, dan
tak ada celah untuk melakukan sejenis kritisasi terhadap
karyakaryanya -- kelaziman ketika kita memperingati orang mati.
Jadi benar-benar sejenis ziarah
kolektif dengan seorang Hugo.
Tapi pemandu yang menguasai benar detail hidup sang pengarang,
yang mengajak kita menghapal beberapa karyanya, memujinya betapa
di usia muda dia telah menulis sebuah roman yang bagus, dan
betapa memukau puisi-puisinya diusia 21, mendengar sejarah
hidupnya yang getir; ada perceraian orang tua, namanya yang
dicomot dari nama selingkuhan ibunya, perkawinannya,
perceraiannya, karier, politiknya, kematian anaknya di danau
Villequier, dan pengaruh karya-karyanya bagi sebuah perubahan di
negerinya. Agak membosankan.
Tapi sms itu betul-betul
menelungkupkan persepsi saya. Adakah yang banal dengan alur
berpikir saya. Artinya begitu pentingkah sejarah mengenai Victor
Hugo, karena dalam konteks yang demikian Victor Hugo tidak
sendiri, ada banyak pengarang lainnya yang mengalami lembaran
hidup yang homogen; perceraian atau kematian anak, atau dalam
usia muda juga mampu melahirkan karya-karya yang bagus, dan
relatif memberikan pengaruh bagi perjalanan sejarah bangsanya!
Andai saja sms tersebut tak dikirimkan dari Aceh saya tak akan
menghiraukannya dan akan meneruskan tidur.
Sms menjadi sangat berarti karena
dikirimkan dari Aceh, yang notabene jauh dari pergulatan-ketat
wacana-wacana mengenai kebudayaan dan kesusasteraan. Dan dalam
kondisi junub ada gelegak keinginan untuk memperingati dan
mengenang sesuatu, memberikannya apresiasi secara luar biasa.
Serupa spanduk raya yang menyergap mata dengan tulisan
huruf-huruf besar dipasang di CCF (Pusat Kebudayaan Prancis);
untuk memperingati 200 Tahun Victor Hugo. Sebuah spanduk yang
menerkam impresi; bagaimana Pusat Kebudayaan Prancis melakukan
ekspansi citra tentang salah seorang pengarangnya sampai ke
negeri jauh!; menyodorkan atau menyidir keingatan kita, ke
sebuah bangsa yang pelit penghargaan terhadap hal-hal yang
demikian.
Bagaimana mereka memperlakukan
dengan semestinya pengarang besar dan tak ada yang boleh
dilupakan secuil pun tentangnya. Yang membuat kita di sini
terlibat merayakannya dalam sebuah momentum citra yang didesain
dengan penuh kesadaran dan penghormatan di Prancis yang makmur
untuk kepentingan mondialisasi ingatan tentang kebesaran
kebudayaan mereka.
Yang cukup barangkali oleh seorang
Hugo saja dan kita di sini berpayah menyelenggarakan diskusi
tentang sang pengarang (beramai-ramai melakukan ziarah kolektif
atas tubuh dan karya Hugo dengan seorang penuntun yang paham
benar tentang sejarahnya); pameran buku?bukunya, pemutaran film
tentangnya. Dan membuat kita dengan sadar mengakui dan terjebak
di pusaran citra yang didesain dengan sadar pula bahwa Hugo
memang penting dan dia lahir dari sebuah peradaban besar, maju,
dan kosmopolit.
Keteraturan ingatan
Tak ada yang salah atas ikhtiar dan sikap yang demikian.
Termasuk sms seorang kawan yang mengapresiasi begitu tinggi
keberadaan seorang Victor Hugo. Yang salah adalah bagaimana tak
berkerjanya sistem keteraturan ingatan mengenai perihal demikian
dalam masyarakat kita. Tak ada keinginan untuk membesarkan
sesuatu hal untuk kepentingan perayaan kesusasteraan atau
kebudayaan untuk ketinggian peradaban sebuah bangsa. Seolah hal
tersebut, serupa membesar-besarkan Victor Hugo dengan segala
tetek-bengeknya, tak akan menemukan signifikansi bagi kebajikan
sebuah bangsa.
Citra tentang bangsa dicukupkan
dengan penggelembungan prestasi-prestasi di luar yang disinggung
dalam tulisan ini, menderetkan secara panjang sejumlah nama
pahlawan perang nasional dalam kurikulum pendidikan dasar,
misalnya. Seolah citra tentang bangsa cukup diwakilkan oleh
hal-hal herois semacam itu. Kalaupun ada sastra cuma ditempatkan
sebagai pemenor tentang kesadaran bernasionalisme, sekadar yang
membayangkan, tak pernah ada pantulan-ulang; buruk-rupakah yang
dibayangkannya, atau sebaliknya. Alangkah kasihannya orang-orang
semacam Pramoedya ataupun Amir Hamzah yang melahirkan karya
besar namun tak pernah menjadi cermin.
Atau citra tentang bangsa yang
mempunyai keadaban tinggi memang tak begitu penting, dipiuhkan
oleh kepentingan memapankan struktur kekuasaan. Jadi segala
sesuatu yang menyangkut citra tentang bangsa yang dapat
diproyeksikan oleh sastra, olahraga, bahasa selalu diupayakan,
tak lebih, untuk menjaga keawetan kekuasaan. Pun, apa yang dapat
diperbuat oleh sastra untuk mengelu-elukan keterjagaan sebuah
kekuasaan? Bukankah selama ini yang terpindai bagaimana selalu
sastra menjadi pengganggu bagi kemapanan kekuasaan.
Dan di muka kekuasaan kelahiran
sastra, terlebih yang mesyiarkan tentang derita bangsanya,
keterpurukan bangsanya oleh kelindanan kekuasaan yang korup dan
tiran, dianggap "anak jadah" yang tak menyuarakan apapun kecuali
sumpah-serapah dan nonsens. Seolah sulit dipercayai dan terasing
benar dalam memori bangsa kita bahwa tetek-bengek tentang
sastra; kehidupan pengarangnya, karya-karyanya, tak berarti atau
bahkan tak hendak menjadi catatan kaki sekalipun, dalam
membangun sebuah citra beradab bagi bangsanya. Konon lagi untuk
mengenangnya seratus-dua ratus tahun kemudian.
Ah, membayangkan orang lain,
melembagakan keteraturan ingatan beratus tahun -- tentang
kepala-kepala yang tergeletak di tikungan-tikungan jalan,
tentang dinginnya bulatan tali gantungan, seperti yang
dimiriskan Hugo dalam Hari Terakhir Seorang Terpidana Mati --
mengenai kekelaman perjalanan bangsanya, dan mempercayai waktu
buruk tersebut oleh sastra akan menjadi kaca untuk berlaku lebih
baik dan bajik kemudian hari. Dan Hugo dikenang untuk itu.(azhari)
Kembali ke Index>>> |