Ibrahim Kadir dan Taruma Kematian di
Aceh
"PAKCIK, tetaplah berdidong. Ceritakanlah semua ini tapi tidak
dengan dendam," bisik wanita muda itu dengan perasaan tabah.
Kedua tangannya kemudiaan diikat dengan tali "pengikat kerbau"
oleh Ibrahim Kadir, pria yang dipanggilnya Pakcik. Riwayat
wanita muda itupun lalu tamat, bersama-sama dengan sejumlah
perempuan lainnya yang mendekam dalam sel 8 di Penjara Takengon,
Aceh Tengah pada tahun 1965 yang dieksekusi mati dengan tuduhan
terlibat PKI.
Wanita ini menghadapi kematiannya dengan tenang. Ia menolak
kepalanya "dikarungi" dengan karung goni sebagaimana tahanan
yang lainnya. Ia menghadapi kematiannya dengan rambut tergerai
disisir rapi--sisirnya dipinjamkan oleh sipir. "Tuhan
menciptakan mata indah ini untuk melihat kehidupan," katanya
kepada sipir.
Peristiwa di atas merupakan bagian dari adegan film "Puisi yang
tak Terkuburkan," karya sutradara Garin Nugroho yang diputar
kembali dalam rangka Festival Sastra 2002 di Taman Ismail
Marzuki (TIM) Jakarta, beberapa waktu silam. Pemutaran film itu
dilakukan bersama-sama dengan pemutaran film dokumentr HB Jasin,
Taufiq Ismail dan sejumlah penyair Indonesia lainnya. Festival
Sastra 2002 itu sendiri dilaksanakan oleh Pusat Dakumentasi
Sastra HB Jassin (PDS HB Jassin) bekerjasama dengan Coca Cola
Foundation Indonesia (CCFI).
Kematian memang janji Tuhan kepada tiap mahluk yang bernyawa.
Tapi ketika menunggu giliran kematian dalam sebuah sel tahanan,
suasannya tentu tidak lagi sederhana. Dan suasana inilah yang
diungkap oleh "Puisi yang tak Terkuburkan" dalam durasi 86
menit.
Film ini diangkat berdasarkan kisah nyata yang dialami penyair
didong Ibrahim Kadir, yang lahir di Kemili, Takengon tahun 1942.
Ia ditangkap pada 11 Oktober 1965. Selama 22 hari ia mendekam
dalam sel No 7. Ketika ditangkap, Ibrahim Kadir tengah mengajar
lagu Indonesia Raya di dalam kelas. Selain penyair (ceh) didong,
Ibrahim juga guru sekolah dasar di Takengon.
Awalnya Ibrahim Kadir tidak mengetahui kenapa ia ditangkap.
Setelah mengetahui bahwa penghuni sel lainnya ditahan dengan
tuduhan PKI, barulah Ibrahim mengerti bahwa dirinya juga ditahan
dengan alasan serupa. Beruntung, Ibrahim Kadir lalu dibebaskan,
karena alasan sebuah kekeliruan.
Selama dalam penjara, ia menyaksikan berbagai peristiwa
mengerikan. Oleh sipir penjara, Ibrahim diberi tugas mengikat
tangan para tahanan yang mendapat giliran untuk dihabisi. Dengan
mata kepala ia saksikan teman-teman satu selnya dibunuh satu
persatu.
Selama dalam penjara Ibrahim berkenalan dengan banyak orang,
termasuk seorang wanita muda tadi yang memilih kematiannya
dengan kepala terbuka. Ada wanita lain yang memilih mati dengan
cara ditembak bersama-sama dengan putranya. Dan kematian demi
kematian itulah yang disaksikan Ibrahim Kadir sepanjang malam.
Tentu saja sembari menunggu kapan pintu kematian "mengetuk"
Ibrahim.
* * * * *
Bau kematian di penjara yang dihuni Ibrahim Kadir di tahun 1965,
mengantarkan kita kepada bau kematian yang menguap sepanjang
waktu di bumi Aceh. "Hari ini giliran siapa?"itulah pertanyaan
besar yang melingkari manusia-manusia di Aceh sejak DOM
diberlakukan 1989 silam.
Dari berbagai rekonstruksi data dan fakta telah ribuan nyawa
melayang tanpa melewati proses hukum. Adalah jamak, bagi warga
Aceh mengalami nasib tragis setelah dituduh GPK atau simpatisan
GPK, atau pernah membantu GPK semasa DOM lalu raib tanpa bisa
diusut. Mayat-mayat bergelimpangan di tempat-tempat terbuka.
Situasi psikologis begitu tertekan dan tak sedikit yang jadi
gila karenanya.
Dengan mudahnya orang-orang saling
melempar tuduhan. Sama mudahnya bagi aparat menghabisi orang
yang dituduhkan itu.
Ibrahim menduga bahwa petaka yang diterimanya itu karena
tudingan dari saudaranya yang lain, hanya lantaran grup
didiongnya menolak memerihkan pesta perkawinan.
"Aku menyaksikan
Aceh hari ini," desis Teuku Kamal, seusai menyaksikan film
"Puisi yang tak Terkuburkan. Aktivis LSM yang sehari-hari
bergelut dengan aroma kematian di lapangan konflik Aceh, memuji
kepiawaian Garin mengangkat film tersebut. "Aceh adalah penjara
yang besar. Dan orang-orang di dalamnya harap-harap cemas, kapan
kematian menjemput melalui sebutir peluru atau kepungan api,"
kata Teuku Kamal lirih mengilustarikan kondisi tanah
kelahirannya.
Garin Nugroho
memang menyuguhkan film itu dengan "aroma" tertekan yang pekat
dari penghuni sel sepanjang 86 menit. Hingga tak perlu ada
letusan senjata atau tumpahan darah lagi untuk melukiskan
suasana yang mencekam itu. Melainkan cukup hanya dengan deru
truk dan dernyit rantai pintu sel, sudah menjadi aba-aba bagi
penghuninya untuk dijemput sang maut.
Tawa dan sorak
gembira juga ada dalam film itu. Seperti ketika masing-masing
penghuni mengobrolkan nostalgia percintaan, yang diikuti dengan
tarian Ibrahim Kadir dalam iringan rytem tepuk tangan. Tapi
Ibrahim menyudahi tariannya dengan ledakan tangisan, sebab semua
akan berakhir dengan kematian.
Sipir penjara
yang diperankan Joserizal Manua juga merasa tertekan karena
harus menjalankan tugasnya. Suatu ketika ia mendesis, "Padahal
kita bersaudara, tapi kenapa kejadiannya seperti ini."
* * * * *
Ibrahim Kadir
memerankan dirinya sendiri. Ia berakting begitu natural. Aktor
lainnya adalah Amak Baljun (tukang sembahyang), El Manik,
Pietrajaya Burnama, Ati Cancer (wanita tua di dapur), Berliana
Febriani (wanita muda), Ella Gayo (lelaki ideologis), Junus
Melalatoa (pria tua) dan sejumlah pendukung lainnya yang
sebahagian besar adalah orang Gayo.
Selain
menggunakan bahasa Indonesia, film ini juga menggunakan bahasa
Gayo yang kemudian diberi teks terjemahan. Elmanik, Joserizal
Manua maupun Berliana terpaksa mempelajari bahasa Gayo itu dalam
waktu singkat. Karenanya wajar kalau pengucapan mereka terdengar
"cakah" alias kurang fasih.
Film ini digarap
dalam waktu sangat singkat, 9 hari di sebuah studio di Depok
dengan setting ruang penjara. Tak banyak memang sutradara yang
mampu membetahkan penonton dengan gambar-gambar indoor. Tapi di
sinilah, kelebihan Garin. Ia termasuk sutradara Indonesia
cemerlang dengan ide-ide orisinil.
Pemilihannya tentang peristiwa yang
dialami Ibrahim Kadir bukannya tanpa alasan. "Aceh itu khusus,
karena mayoritas masyarakatnya muslim. Selain itu, Aceh adalah
sebuah wilayah yang dipenuhi kekerasan dalam sejarah
perjalanannya. Dan dipenuhi juga kemampuan dan keinginan untuk
memulihkan martabat di dalam kehidupan mereka," kata Garin dalam
sebuah wawancara dengan Serambi di Jakarta.
Ia menyebut
filmnya itu, sebuah tafsir sejarah yang diperankan oleh seorang
muslim bernama Ibrahim Kadir. Menurut Garin, sebenarnya film ini
lebih untuk melihat kembali sejarah bangsa ini. Bahwa sejarah
seperti kekerasan pada produk-produk Indonesia sebelumnya tidak
pernah ditafsir secara humanis. Melainkan ditutupi dan dihindari
membicarakannya, sehingga memunculkan letupan-letupan baru dan
kekerasan baru. Beda dengan perang Vietnam, banyak difilmkan,
dituliskan dalam bentuk novel dan karya-karya sastra serta karya
ilmiah lainnya dengan tafsiran sendiri.
"Ini saatnya kita
menafsirkan sebuah peristiwa dengan tidak menggunakan cara
kekerasan dan pengadilan jalanan yang memakan banyak korban.
Tapi kita menafsirkan dengan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan,"
kata Garin.
Lantas kenapa
Ibrahim Kadir? "Karena menurut saya dia mengalami peristiwa itu,
dia juga seorang penutur tradisi (penyair didong). Dia ikut
melihat bagaimana orang dibunuh, dipenggal, sembari dia sendiri
menunggu giliran kematian. Tapi kemudian Ibrahim melihat bahwa
menghormati martabat kemanusiaan lebih penting dari segalanya.
Artinya, kita tidak hanya berdiam, tapi memberi martabat kembali
kepada setiap orang, kepada setiap suku dan kepada siapa saja,"
jelas Garin.
Yang terpenting
dari semua itu, Ibrahim memberikan kesaksiannya tidak dengan
dendam. "Ceritakan semua ini tidak dengan dendam," pesan wanita
muda itu sebelum kemudian maut menjemputnya.(SI/fikar w.eda)
Kembali ke Index>>> |