Cerpen:
Kontrakan
Oleh: Dianing Widya Yudhistira
Untuk keluarga kecil seperti kami, rumah ini sangat nyaman, dan
cukup luas. Kamarnya ada dua, dan yang satunya selalu kosong,
kecuali ada teman atau keluarga yang datang baru ada yang
mengisi kamar itu. Ruang tamu, ruang tengah, dan dapur, semuanya
lapang. Selain itu, rumah itu menghadap ke taman. Tiap sore
banyak anak-anak bermain. Anak perempuan kami, berumur dua
setengah tahun, juga ikut berlari-lari dengan teman-teman
sebayanya.
Sebenarnya aku masih ingin di sini. Tetapi, biaya sewanya
dinaikkan sebesar lima puluh persen. Kami berat dengan harga
itu. Repotnya si pemilik rumah mengabarkan kenaikan itu hanya
dua minggu sebelum masa kontrak habis. Kamipun mulai sibuk
mencari rumah baru. Dari melihat iklan kecil di koran,
menghubungi pemilik rumah hingga akhirnya Abang mengabarkan ada
sebuah rumah yang tempatnya di belakang masjid. Entah mengapa
dari penuturan Abang saja aku merasa cocok dengan rumah itu.
Kami
memutuskan untuk melihat rumah yang dimaksud. Memang letaknya di
gang sempit di belakang Masjid. Sekelilingnya kamar-kamar yang
dihuni satu keluarga. Di depan kamar-kamar itu terdapat pompa
air dan kamar mandi alakadarnya yang digunakan untuk umum.
Ketika memasuki rumah yang berukuran kecil itu aku langsung
tertarik dan mengiyakan untuk mengambilnya.
Dalam
beberapa hari aku bisa bergaul dengan orang-orang sekeliling.
Semuanya berjalan biasa-biasa saja. Tak ada yang aku risaukan
meskipun lingkunganku yang baru ini kurang menguntungkan bagi si
kecil. Sebab di sini tak ada taman untuk bermain. Kalau ingin
bermain bersama anak sebayanya, aku ajak ia keluar. Beruntung
anakku termasuk anak yang mudah menyesuaikan diri dan cepat
akrab hingga ia cepat mendapatkan teman bermain.
Sesuatu telah lama terjadi di depan rumahku. Setiap hari halaman
rumah selalu basah. Aku mulai risau, karena dengan berkubangnya
air di halaman telah mengesankan kumuh. Aku juga tak habis fikir
mengapa ibu kos sering membuang air bekas mengepel di depan
rumahnya, yang airnya mengalir di depan rumahku. Di sekeliling
rumah banyak terdapat pipa-pipa yang tidak ditanam. Padahal
setiap saat pipa itu selalu mengalirkan air dan tentu akan
membuat halaman rumah basah. Akupun mulai bertanya kepada
tetangga sebelah soal air yang selalu keluar dari pipa itu.
Menurut keterangan mereka air itu berasal dari ibu kos.
Yang
membuat aku menautkan kening apakah air itu berasal dari air
kotor bekas mencuci baju, atau air yang meluap karena bak
penampung air penuh. Aku mulai resah akhirnya dengan keberadaan
halaman rumah yang seolah-olah difungsikan seperti selokan.
Ternyata bukan aku saja yang resah. Tetanggaku suatu saat juga
mengeluhkan keberadaan halaman rumah yang selalu berair.
Karenanya di sana sini tumbuh lumut dan membuat halaman rumah
jadi licin.
Pernah Abang ketika akan berangkat ke kantor terpeleset.
Untungnya tidak terjatuh. Noni, anak tetangga sebelah, yang baru
berusia tiga tahun sering terjatuh di halaman rumahnya. Rumahnya
memang bersebelahan denganku jadi sama berair dan licin. Keadaan
inilah yang membuatku tak pernah membiarkan si kecil jalan
sendiri di halaman rumah. Aku selalu menggendongnya bila akan
keluar.
Tak
hanya anak kecil yang sering terpeleset di halaman rumah. Pernah
seorang ibu hampir terjatuh ketika menunjukkan rumahku kepada
Pak Pos. Juga pemuda-pemuda yang sering melewati halaman rumah
ketika pulang dan pergi untuk bekerja. Pendek kata halaman rumah
itu sudah menjatuhkan banyak orang. Yang membuatku heran pemilik
kontrakan tak peduli dengan semua itu.
Hingga suatu hari ada Tatang terpeleset. Ketika ia terjatuh
suaranya sangat keras. Aku yang sedang di dalam rumah terkejut .
Pertama yang aku bayangkan adalah kepalanya. Aku takut kepalanya
yang terbentur keras dan mengakibatkan luka serius. Ketika aku
keluar rumah pemuda itu sudah digotong beberapa orang yang
kemudian dilarikan ke rumah sakit.
Menyadari itu, pemilik kontrakan yang sedang berada di luar,
dengan ringannya masuk rumah dan menutup pintu. Beberapa orang
sempat melihat sikap pemilik kontrakan itu. Mereka geleng-geleng
kepala. Aku benar-benar heran, di dunia ini ada orang semacam
dia. Tidak peduli dengan orang lain.
Aku
masih tercenung di halaman rumah. Orang-orang sudah pergi.
Tetapi suara benturan yang keras itu tak mau pergi dari
telingaku. Aku jadi khawatir. Tanpa menunggu Abang pulang, aku
memutuskan untuk ke rumah sakit tempat Tatang di dirawat.
Tatang tergeletak dengan lunglai. Pemuda itu selalu menolak uang
pembayaran kami ketika menaiki mobilnya. Aku menghela nafas
lega. Karena bukan kepala Tatang yang diperban melainkan tangan
kirinya.
"Bagaimana keadaannya, Pak."
"Tangannya retak."
"Retak," gumamku.
"Tidak serius, ia harus istirahat beberapa hari biar sembuh
total dan dapat bekerja kembali."
Aku menghela nafas lagi. Dan kepada keluarga Tatang aku selipkan
beberapa lembar rupiah. Sekedar untuk tambah-tambah, ucapku
kepada mereka.
Aku
terkejut. Di rumah banyak orang berkumpul. Mereka akan memaksa
pemilik rumah kontrakan untuk segera menanam pipa agar halaman
tidak tergenang air. Sebenarnya air itu hanya menggenangi dua
rumah. Yakni rumahku dan rumah sebelah. Hanya saja halaman rumah
itu sering dilewat orang.
Sayang, pemilik rumah itu tak bergeming. Ia tak menanam
pipa-pipa dengan alasan bahwa lokasi itu milik dia. Dia punya
hak untuk membiarkan pipa-pipa menggantung dan sewaktu-waktu
mengalirkan air. Mengherankan dan keras kepala. Geramku dan juga
geram tetanga-tetanggaku. Sejak itu terbersit dibenakku untuk
segera pindah.
* *
* * * *
Belum
sempat aku pindah rumah, sesuatu yang sama telah terjadi.
Seorang anak laki-laki jatuh terpeleset. Kepalanya terbentur
keras. Ternyata Sapta anak bungsu pemilik rumah. Ketika diangkat
ia terdiam dengan mata terpejam. Ibu pemilik rumah panik,
sementara suaminya dengan tak acuh menyuruh meletakkan Sapta di
depan rumahnya. Orang-orang benar-benar tak boleh membawanya
masuk ke dalam. Benar-benar sombong.
Akhirnya orang-orang pulang tanpa ucapan terimakasih sebagaimana
biasanya orang-orang timur yang baru mendapatkan pertolongan.
Sapta segera di bawa ke rumah sakit oleh kedua orangtuanya.
Berbeda dengan Tatang yang selalu dikunjungi, Sapta tak ada
satupun yang menjenguknya selain keluarganya sendiri.
Suatu pagi wajah bapak dan ibu pemilik rumah itu muram durja.
Awan seperti menggantung di wajah mereka. Dan Sapta yang
biasanya riang berlari-lari kian kemari tak terlihat. Ia tak
lagi kami lihat melewati depan rumah untuk berangkat sekolah.
Dan akhirnya benar-benar tak pernah keluar rumah.
Menurut pembantunya Sapta dikurung di dalam kamar. Tak boleh
keluar rumah dan terlihat orang lain. Tetapi entah mengapa suatu
hari Sapta tampak duduk sendiri di depan halaman rumahku. Ketika
aku menyapa ia hanya diam. Sesuatu memang telah berubah.
Pandangannya menerawang dan heran. Ia tidak berkata apa-apa. Ia
seperti tidak mengenalku. Apakah ia terkena penyakit lupa --
amnesia? Aku tak menyangka akan sejauh itu akibatnya.
Sejak
peristiwa itu para tetanggaku mulai sibuk mencari kontrakkan
baru. Mereka takut hal yang menimpa Sapta terjadi pula pada
anak-anak mereka. Terlebih dari pemilik rumah tak ada
tanda-tanda untuk menanam pipa. Dan keinginanku untuk pindahpun
kian kuat. ***
Kembali ke Index>>> |