PUSMA Online

 

PUSAT STUDI MELAYU-ACEH

www.pusma.8m.net

 Artikel
 Puisi
 Prosa
 Galeri Foto
 Sahabat
 Agenda

Cerpen:

Kontrakan

Oleh: Dianing Widya Yudhistira

Untuk keluarga kecil seperti kami, rumah ini sangat nyaman, dan cukup luas. Kamarnya ada dua, dan yang satunya selalu kosong, kecuali ada teman atau keluarga yang datang baru ada yang mengisi kamar itu. Ruang tamu, ruang tengah, dan dapur, semuanya lapang. Selain itu, rumah itu menghadap ke taman. Tiap sore banyak anak-anak bermain. Anak perempuan kami, berumur dua setengah tahun, juga ikut berlari-lari dengan teman-teman sebayanya.

Sebenarnya aku masih ingin di sini. Tetapi, biaya sewanya dinaikkan sebesar lima puluh persen. Kami berat dengan harga itu. Repotnya si pemilik rumah mengabarkan kenaikan itu hanya dua minggu sebelum masa kontrak habis. Kamipun mulai sibuk mencari rumah baru. Dari melihat iklan kecil di koran, menghubungi pemilik rumah hingga akhirnya Abang mengabarkan ada sebuah rumah yang tempatnya di belakang masjid. Entah mengapa dari penuturan Abang saja aku merasa cocok dengan rumah itu.

Kami memutuskan untuk melihat rumah yang dimaksud. Memang letaknya di gang sempit di belakang Masjid. Sekelilingnya kamar-kamar yang dihuni satu keluarga. Di depan kamar-kamar itu terdapat pompa air dan kamar mandi alakadarnya yang digunakan untuk umum. Ketika memasuki rumah yang berukuran kecil itu aku langsung tertarik dan mengiyakan untuk mengambilnya.

Dalam beberapa hari aku bisa bergaul dengan orang-orang sekeliling. Semuanya berjalan biasa-biasa saja. Tak ada yang aku risaukan meskipun lingkunganku yang baru ini kurang menguntungkan bagi si kecil. Sebab di sini tak ada taman untuk bermain. Kalau ingin bermain bersama anak sebayanya, aku ajak ia keluar. Beruntung anakku termasuk anak yang mudah menyesuaikan diri dan cepat akrab hingga ia cepat mendapatkan teman bermain.

Sesuatu telah lama terjadi di depan rumahku. Setiap hari halaman rumah selalu basah. Aku mulai risau, karena dengan berkubangnya air di halaman telah mengesankan kumuh. Aku juga tak habis fikir mengapa ibu kos sering membuang air bekas mengepel di depan rumahnya, yang airnya mengalir di depan rumahku. Di sekeliling rumah banyak terdapat pipa-pipa yang tidak ditanam. Padahal setiap saat pipa itu selalu mengalirkan air dan tentu akan membuat halaman rumah basah. Akupun mulai bertanya kepada tetangga sebelah soal air yang selalu keluar dari pipa itu. Menurut keterangan mereka air itu berasal dari ibu kos.

Yang membuat aku menautkan kening apakah air itu berasal dari air kotor bekas mencuci baju, atau air yang meluap karena bak penampung air penuh. Aku mulai resah akhirnya dengan keberadaan halaman rumah yang seolah-olah difungsikan seperti selokan.

Ternyata bukan aku saja yang resah. Tetanggaku suatu saat juga mengeluhkan keberadaan halaman rumah yang selalu berair. Karenanya di sana sini tumbuh lumut dan membuat halaman rumah jadi licin.

Pernah Abang ketika akan berangkat ke kantor terpeleset. Untungnya tidak terjatuh. Noni, anak tetangga sebelah, yang baru berusia tiga tahun sering terjatuh di halaman rumahnya. Rumahnya memang bersebelahan denganku jadi sama berair dan licin. Keadaan inilah yang membuatku tak pernah membiarkan si kecil jalan sendiri di halaman rumah. Aku selalu menggendongnya bila akan keluar.

Tak hanya anak kecil yang sering terpeleset di halaman rumah. Pernah seorang ibu hampir terjatuh ketika menunjukkan rumahku kepada Pak Pos. Juga pemuda-pemuda yang sering melewati halaman rumah ketika pulang dan pergi untuk bekerja. Pendek kata halaman rumah itu sudah menjatuhkan banyak orang. Yang membuatku heran pemilik kontrakan tak peduli dengan semua itu.
Hingga suatu hari ada Tatang terpeleset. Ketika ia terjatuh suaranya sangat keras. Aku yang sedang di dalam rumah terkejut . Pertama yang aku bayangkan adalah kepalanya. Aku takut kepalanya yang terbentur keras dan mengakibatkan luka serius. Ketika aku keluar rumah pemuda itu sudah digotong beberapa orang yang kemudian dilarikan ke rumah sakit.

Menyadari itu, pemilik kontrakan yang sedang berada di luar, dengan ringannya masuk rumah dan menutup pintu. Beberapa orang sempat melihat sikap pemilik kontrakan itu. Mereka geleng-geleng kepala. Aku benar-benar heran, di dunia ini ada orang semacam dia. Tidak peduli dengan orang lain.

Aku masih tercenung di halaman rumah. Orang-orang sudah pergi. Tetapi suara benturan yang keras itu tak mau pergi dari telingaku. Aku jadi khawatir. Tanpa menunggu Abang pulang, aku memutuskan untuk ke rumah sakit tempat Tatang di dirawat.
Tatang tergeletak dengan lunglai. Pemuda itu selalu menolak uang pembayaran kami ketika menaiki mobilnya. Aku menghela nafas lega. Karena bukan kepala Tatang yang diperban melainkan tangan kirinya.
"Bagaimana keadaannya, Pak."
"Tangannya retak."
"Retak," gumamku.
"Tidak serius, ia harus istirahat beberapa hari biar sembuh total dan dapat bekerja kembali."
Aku menghela nafas lagi. Dan kepada keluarga Tatang aku selipkan beberapa lembar rupiah. Sekedar untuk tambah-tambah, ucapku kepada mereka.

Aku terkejut. Di rumah banyak orang berkumpul. Mereka akan memaksa pemilik rumah kontrakan untuk segera menanam pipa agar halaman tidak tergenang air. Sebenarnya air itu hanya menggenangi dua rumah. Yakni rumahku dan rumah sebelah. Hanya saja halaman rumah itu sering dilewat orang.
Sayang, pemilik rumah itu tak bergeming. Ia tak menanam pipa-pipa dengan alasan bahwa lokasi itu milik dia. Dia punya hak untuk membiarkan pipa-pipa menggantung dan sewaktu-waktu mengalirkan air. Mengherankan dan keras kepala. Geramku dan juga geram tetanga-tetanggaku. Sejak itu terbersit dibenakku untuk segera pindah.

* * * * * *

Belum sempat aku pindah rumah, sesuatu yang sama telah terjadi. Seorang anak laki-laki jatuh terpeleset. Kepalanya terbentur keras. Ternyata Sapta anak bungsu pemilik rumah. Ketika diangkat ia terdiam dengan mata terpejam. Ibu pemilik rumah panik, sementara suaminya dengan tak acuh menyuruh meletakkan Sapta di depan rumahnya. Orang-orang benar-benar tak boleh membawanya masuk ke dalam. Benar-benar sombong.

Akhirnya orang-orang pulang tanpa ucapan terimakasih sebagaimana biasanya orang-orang timur yang baru mendapatkan pertolongan. Sapta segera di bawa ke rumah sakit oleh kedua orangtuanya. Berbeda dengan Tatang yang selalu dikunjungi, Sapta tak ada satupun yang menjenguknya selain keluarganya sendiri.
Suatu pagi wajah bapak dan ibu pemilik rumah itu muram durja. Awan seperti menggantung di wajah mereka. Dan Sapta yang biasanya riang berlari-lari kian kemari tak terlihat. Ia tak lagi kami lihat melewati depan rumah untuk berangkat sekolah. Dan akhirnya benar-benar tak pernah keluar rumah.

Menurut pembantunya Sapta dikurung di dalam kamar. Tak boleh keluar rumah dan terlihat orang lain. Tetapi entah mengapa suatu hari Sapta tampak duduk sendiri di depan halaman rumahku. Ketika aku menyapa ia hanya diam. Sesuatu memang telah berubah. Pandangannya menerawang dan heran. Ia tidak berkata apa-apa. Ia seperti tidak mengenalku. Apakah ia terkena penyakit lupa -- amnesia? Aku tak menyangka akan sejauh itu akibatnya.

Sejak peristiwa itu para tetanggaku mulai sibuk mencari kontrakkan baru. Mereka takut hal yang menimpa Sapta terjadi pula pada anak-anak mereka. Terlebih dari pemilik rumah tak ada tanda-tanda untuk menanam pipa. Dan keinginanku untuk pindahpun kian kuat. ***

Kembali ke Index>>>

Untuk Menyelesaikan Konflik Aceh
Belajarlah dari Snouch Hurgronje 
(28/10/2002)

Seminar
Budaya Melayu-Aceh
(25/10/2002)

Sekretariat PUSMA
Jalan T. Nyak Arief No. 314 Darussalam Banda Aceh, Indonesia, Telp. 0651-54558 

Email: pusma@lycos.com