Mustafa Ismail
Kenangan di Lhoknga
Apakah kenangan harus selalu dikenang? Aku tidak ingin larut
dalam kenangan. Kenangan membikinku mabuk. Kenangan membikinku
tak bergerak. Kenangan membikinku mati. Karena itu, ketika
mereka tiba-tiba muncul, aku tak pernah menganggap di antara
kami pernah mengalir sebuah sungai yang penuh kenangan.
Sungai itu telah lama mati. Nana dan Mita juga sudah mati. Ia
telah lama hilang. Semua telah tiada. Jejak juga sudah terhapus.
Pantai Lhoknga telah sepi. Sejak lama. Sejak negeri kelahiranku
gonjang-ganjing, belasan tahun lalu. Kalau pun aku bertemu Nana
dan Mita, itu adalah orang lain. Aku telah menganggapnya orang
lain.
Bukan hanya Nana dan Mita, banyak orang juga mati. Termasuk
serdadu-serdadu yang dikirimkan untuk berperang di sana.
Termasuk mereka yang mengirimkan. Mereka yang bertanggungjawab
untuk itu. Mereka yang membiayai. Mereka yang punya kebijakan
untuk mengirimkan banyak bedil dan senjata ke sana.
Semua telah mati. Mati. Mati. Meskipun jasad mereka belum
dikuburkan. Karena yang mati adalah bukan jasad. Tetapi hati.
Perasaan. Juga kenangan. Mereka membangun fantasi?fantasi lain
dalam dirinya. Dan mereka gembira karena itu. Tetapi mereka
tidak pernah mengerti apa arti kegembiraan.
* * * * * *
"Katakan bagaimana harus mencintaimu secara sungguh-sungguh.
Katakanlah, katakan," kataku dalam hati. Nana masih mematung.
Masih ada gunung berapi yang segera meledak dalam dadanya.
Wajahnya seperti warna tomat yang kelewat matang. Matanya
menyorot tajam ke laut lepas.
Lhoknga bukan tempat yang asing bagi kami. Hampir setiap minggu,
kami menyempatkan diri untuk berkunjung ke tempat ini. Alamnya
segar. Pantainya asri. Kami selalu duduk di tepi pantai,
memandang ke laut, sampai matahari tenggelam ke air. Sampai hawa
pantai malam hari pelan-pelan merayapi tubuh kami.
Semua kami jalani dengan kegembiraan. Kebahagiaan dan perasaan
suka cita. Bukan perasaan marah dan cemburu, seperti sekarang
ini. "Mengaku saja bahwa kamu ingin meninggalkanku. Supaya aku
bisa bersiap untuk kehilanganmu. Aku tidak ingin ditinggal
secara tiba?tiba," suara Nana bergetar.
"Tidak ada yang akan ditinggal dan meninggalkan," kataku pelan.
Aku mengarahkan pandangan ke matanya. Tetapi buru?buru Nana
mengalihkan pandang ke orang-orang yang mulai bergerak pulang,
setelah seharian menikmati suasana pantai. Hari telah sore.
Matahari tinggal beberapa galah di atas air laut.
Aku benar-benar tidak habis pikir Nana bisa beranggapan buruk
terhadapku. Hanya gara?gara aku absen mengunjunginya karena
kesibukanku mempersiapkan sebuah konser musik. Musik untuk
menghibur orang?orang yang selama ini tenggelam dalam duka dan
tangisan. Mereka yang tiap hari harus menikmati suara letusan,
ledakan, bahkan suara jeritan ketakutan dan keperihan.
Dan mereka harus diajak untuk bangkit. Kembali hidup. Bahkan
bila perlu melakukan perlawanan terhadap ketakutan, kepedihan,
keperihan, dan air mata mereka sendiri. Mereka harus melawan
keadaan, yang telah membuat mereka terpuruk sekian lama dalam
kedukaan.
Mereka harus bisa menjadikan suara ledakan, letusan, sebagai
semangat perlawanan. Juga sebuah musik yang lain. Selain yang
mereka dengarkan lewat radio, televisi, pertunjukan sandiwara
keliling Geulanggang Labu, dan syair nina bobo yang terdengar
dari rumah-rumah ibu-ibu yang tak lama melahirkan.
Aku tidak perduli bila kawan-kawan menganggap ini pekerjaan
sia-sia. "Aku harus membikin mereka kembali hidup dan tidak
terlalu lama larut dalam kenangan duka itu," ujarku dalam sebuah
pertemuan mendiskusikan gagasanku. Mereka sudah terlalu lama
larut dalam kedukaan.
Bukan hanya mereka, para seniman juga terlalu lama larut dalam
suasana yang tidak produktif itu. Sehingga karya?karya yang
mereka ciptakan sama?sebangun, semua berpotret kedukaan.
Sehingga suasana duka itu menjadi begitu kental. Lestari. Karena
tidak ada orang yang berusaha keluar dari sana: dengan
menghadirkan suasana yang lebih mencerahkan.
"Bagaimana kita berpikir dengan jernih bila hati kita dipenuhi
kabut?"
Nana tidak menggubris. Matanya menatap tajam ke cahaya matahari
yang memanjang dan seolah menancap di bagian tertentu kulit
laut. "Pikiranku jernih," ujarnya kemudian. Lalu ia menoleh
kepadaku dan bibirnya tampak gemetar. "Mungkin sudah saatnya
kita lupakan hari?hari kita." Mata Nana berkedip?kedip dan
basah. Mata air memancur dari sana.
Seperti tersedak, aku tidak bisa mengucapkan apa-apa. Aku juga
tidak mencegah ketika Nana bangkit dan berlari lalu menghilang
di balik bukit?bukit kecil yang ditumbuhi pohon?pohon hijau di
pantai itu. Sampai matahari benar-benar tenggelam dan langit
menjadi gelap. Sampai pantai itu menjadi sepi.
Aku hanya bisa berharap, mudah?mudahan ia berpikir jernih atas
keputusannya. Sehingga tidak perlu ada air mata yang terus
menetes.
* * * * *
"Aku harus pergi jauh. Aku tidak bisa menolak," suara Mita
serak. Ia ingin menangis, tetapi segera aku cegah. Sebuah
perpisahan tidak harus ditangisi. Apakah perpisahan tempat,
waktu. Juga perpisahan karena kematian.
"Hidup harus dibangun dengan tiang-tiang yang kokoh, bukan
dengan airmata," ujarku, seperti seorang bijak. Entahlah, apakah
aku berpura-pura bijak. Atau memang ke-bijak-an itu memang
dipunyai setiap orang, tergantung bagaimana orang menggunakan
dan menempatkannya.
Sebenarnya aku sangat mengharapkan gadis itu terus mewarnai
hari?hariku. Setelah nama-nama lain pergi, termasuk Nana. Mita
telah membikin hari-hariku kembali bergairah. Di matanya selalu
aku temukan sebuah kolam, tempat aku berenang membuang penat dan
kegelisahan.
Mita adalah seorang gadis yang muncul dari balik sejarah: ia
lahir di sebuah kota besar, Jakarta. Lalu entah bagaimana
terdampar ke sini sebagai seorang mahasiswi di sebuah perguruan
tinggi swasta. Sebuah pilihan yang sempat kupertanyakan:
bukankah sangat banyak kampus di kotanya yang hebat-hebat,
kenapa harus di kota ini?
Tapi, hingga kini ia tidak bisa memberi jawaban yang pasti:
Mungkin sang Waktu ingin mempertemukan kita. Selalu itu jawaban
Mita. Selalu itu. Tidak ada yang lain. Apakah memang Tuhan
sengaja mengirimkan gadis cantik ini untukku? Tetapi kenapa
kehadirannya sangat sebentar? Sekarang aku harus bersiap-siap
untuk melepaskannya untuk kembali pulang.
Kami berkenalan dalam sebuah acara diskusi. Ia sangat menarik.
Ke mana?mana selalu membawa ransel. Isinya buku-buku, pakaian,
juga perlengkapan ibadah. Entah mengapa kami menjadi akrab.
Bahkan sangat akrab. Orang-orang menganggap kami sepasang
kekasih, tetapi kami tidak pernah membuat komitmen apa-apa.
"Suatu waktu, apabila aku kembali datang ke sini, apakah kau
akan tetap menerimaku sebagaimana adanya?"
"Tidak ada alasan bagiku untuk menolakmu. Aku sangat...,"
kata-kataku tertahan oleh jari manisnya yang tiba?tiba menyentuh
bibirku sebagai isyarat untuk tidak melanjutkan kalimatku. Aku
paham, ia mengerti maksud kata?kataku meskipun kata-kata itu
belum sempurna kuucapkan.
"Kamu tetap menerimaku meskipun pada satu waktu aku
menyakitimu?"
"Tidak ada yang menyakitiku. Apalagi kau."
"Berjanjilah kau akan menerima dan memaafkanku bila suatu waktu
membuat kesalahan dan menyakitimu."
"Ya aku berjanji aku akan tetap menerimamu."
"Kini hatiku lega. Tetapi sebelum pergi, aku ingin memberi tanda
mata untukmu," katanya. Kemudian tangannya meraba tas di
sampingnya.
Aku menebak?nebak apa isi tanda mata yang akan diberikan.
Bukukah? Karena ia tahu aku gemar membaca. Penakah? Karena ia
tahu aku senang menulis. Atau sebuah puisi? Sebab ia paham aku
seorang yang romantis.
Betapa aku tercengang ketika yang dikeluarkan dari dalam tas itu
adalah sebuah benda berbentuk senjata. "Apa itu?"
"Pistol."
"Pistol?
"Ya."
"Untuk apa?"
"Untuk kamu berjaga?jaga."
"Berjaga-jaga? Aku tidak mengerti."
"Ya, berjaga-jaga. Kalau ada orang yang akan menembakmu, dahului
dengan menembaknya. Lebih baik menembak daripada ditembak,"
kata?katanya tegas, menusuk, seperti peluru yang bakal keluar
dari pistol itu.
"Aku tidak membutuhkan ini. Aku bisa menjaga diri dengan caraku
sendiri."
"Suatu saat kau membutuhkannya."
Dengan gemetar aku terima pistol itu dan segera aku sembunyikan
di balik bajuku. Matahari seolah gemetar. Air laut seolah
berhenti beriak. Aku larut dalam pikiranku: Mau kuapakan pistol
ini. Kalau orang, atau aparat keamanan, tahu aku membawa bawa
pistol, bisa-bisa aku dituduh macam-macam. Aku bisa habis.
Dua hari kemudian, tempat kostku digeledah. Aku pun dibawa,
karena memiliki senjata tanpa izin. Aku dituduh teroris. Aku
pasrah. Tak bisa berbuat apa?apa. Karena memang secara sah dan
menyakinkan aku memiliki dan menyimpan pistol itu. Pemberian
Mita.
* * * * *
Apakah kenangan harus selalu dikenang? Setelah tahun berganti
tahun, apa gunanya lagi sebuah kenangan. Haruskah aku mengenang
perjalanan dengan seorang gadis bernama Nana, yang tak pernah
mengerti aku? Mestikah aku mengingat kembali kenangan bersama
Mita, yang telah menjerumuskanku dalam ruang interogasi,
meskipun tidak sampai lama karena tuduhan mereka sebagai bagian
dari kelompok teroris itu tidak terbukti?
Apa arti sebuah kenangan, bila itu makin membuat kita terpenjara
dan merana, bahkan mati. Kematian yang lebih dahsyat dari
kematian yang sesungguhnya: terperosok dalam sumur yang membikin
sakit dan nyeri. Karena itu, pertemuanku yang serba kebetulan
dengan Nana dan Mita, dalam waktu dan tempat berbeda, adalah
pertemuan yang biasa-biasa saja.
Tidak ada yang istimewa. Aku telah lupakan sikap Nana yang pergi
dariku karena dibakar cemburu. Aku sudah kuburkan perbuatan Mita
yang melemparkanku ke sebuah ruang gelap interogasi.
Peristiwa?peristiwa itu telah kuanggap tidak pernah ada dan
tidak pernah terjadi dalam diriku, juga tidak pernah dilakukan
oleh kedua gadis itu. Dengan begitulah aku tidak merasa sakit.
Bisa memaafkan. Juga bangkit.
Sawangan, Oktober 2002
Kembali ke Index>>> |