PUSMA Online

 

PUSAT STUDI MELAYU-ACEH

www.pusma.8m.net

 Artikel
 Puisi
 Prosa
 Galeri Foto
 Sahabat
 Agenda

 Koleksi Cerpen:

 Mustafa Ismail

Kenangan di Lhoknga

Apakah kenangan harus selalu dikenang? Aku tidak ingin larut dalam kenangan. Kenangan membikinku mabuk. Kenangan membikinku tak bergerak. Kenangan membikinku mati. Karena itu, ketika mereka tiba-tiba muncul, aku tak pernah menganggap di antara kami pernah mengalir sebuah sungai yang penuh kenangan.
Sungai itu telah lama mati. Nana dan Mita juga sudah mati. Ia telah lama hilang. Semua telah tiada. Jejak juga sudah terhapus. Pantai Lhoknga telah sepi. Sejak lama. Sejak negeri kelahiranku gonjang-ganjing, belasan tahun lalu. Kalau pun aku bertemu Nana dan Mita, itu adalah orang lain. Aku telah menganggapnya orang lain.
Bukan hanya Nana dan Mita, banyak orang juga mati. Termasuk serdadu-serdadu yang dikirimkan untuk berperang di sana. Termasuk mereka yang mengirimkan. Mereka yang bertanggungjawab untuk itu. Mereka yang membiayai. Mereka yang punya kebijakan untuk mengirimkan banyak bedil dan senjata ke sana.
Semua telah mati. Mati. Mati. Meskipun jasad mereka belum dikuburkan. Karena yang mati adalah bukan jasad. Tetapi hati. Perasaan. Juga kenangan. Mereka membangun fantasi?fantasi lain dalam dirinya. Dan mereka gembira karena itu. Tetapi mereka tidak pernah mengerti apa arti kegembiraan.

* * * * * *

"Katakan bagaimana harus mencintaimu secara sungguh-sungguh. Katakanlah, katakan," kataku dalam hati. Nana masih mematung. Masih ada gunung berapi yang segera meledak dalam dadanya. Wajahnya seperti warna tomat yang kelewat matang. Matanya menyorot tajam ke laut lepas.

Lhoknga bukan tempat yang asing bagi kami. Hampir setiap minggu, kami menyempatkan diri untuk berkunjung ke tempat ini. Alamnya segar. Pantainya asri. Kami selalu duduk di tepi pantai, memandang ke laut, sampai matahari tenggelam ke air. Sampai hawa pantai malam hari pelan-pelan merayapi tubuh kami.
Semua kami jalani dengan kegembiraan. Kebahagiaan dan perasaan suka cita. Bukan perasaan marah dan cemburu, seperti sekarang ini. "Mengaku saja bahwa kamu ingin meninggalkanku. Supaya aku bisa bersiap untuk kehilanganmu. Aku tidak ingin ditinggal secara tiba?tiba," suara Nana bergetar.

"Tidak ada yang akan ditinggal dan meninggalkan," kataku pelan. Aku mengarahkan pandangan ke matanya. Tetapi buru?buru Nana mengalihkan pandang ke orang-orang yang mulai bergerak pulang, setelah seharian menikmati suasana pantai. Hari telah sore. Matahari tinggal beberapa galah di atas air laut.

Aku benar-benar tidak habis pikir Nana bisa beranggapan buruk terhadapku. Hanya gara?gara aku absen mengunjunginya karena kesibukanku mempersiapkan sebuah konser musik. Musik untuk menghibur orang?orang yang selama ini tenggelam dalam duka dan tangisan. Mereka yang tiap hari harus menikmati suara letusan, ledakan, bahkan suara jeritan ketakutan dan keperihan.

Dan mereka harus diajak untuk bangkit. Kembali hidup. Bahkan bila perlu melakukan perlawanan terhadap ketakutan, kepedihan, keperihan, dan air mata mereka sendiri. Mereka harus melawan keadaan, yang telah membuat mereka terpuruk sekian lama dalam kedukaan.

Mereka harus bisa menjadikan suara ledakan, letusan, sebagai semangat perlawanan. Juga sebuah musik yang lain. Selain yang mereka dengarkan lewat radio, televisi, pertunjukan sandiwara keliling Geulanggang Labu, dan syair nina bobo yang terdengar dari rumah-rumah ibu-ibu yang tak lama melahirkan.

Aku tidak perduli bila kawan-kawan menganggap ini pekerjaan sia-sia. "Aku harus membikin mereka kembali hidup dan tidak terlalu lama larut dalam kenangan duka itu," ujarku dalam sebuah pertemuan mendiskusikan gagasanku. Mereka sudah terlalu lama larut dalam kedukaan.

Bukan hanya mereka, para seniman juga terlalu lama larut dalam suasana yang tidak produktif itu. Sehingga karya?karya yang mereka ciptakan sama?sebangun, semua berpotret kedukaan. Sehingga suasana duka itu menjadi begitu kental. Lestari. Karena tidak ada orang yang berusaha keluar dari sana: dengan menghadirkan suasana yang lebih mencerahkan.
"Bagaimana kita berpikir dengan jernih bila hati kita dipenuhi kabut?"

Nana tidak menggubris. Matanya menatap tajam ke cahaya matahari yang memanjang dan seolah menancap di bagian tertentu kulit laut. "Pikiranku jernih," ujarnya kemudian. Lalu ia menoleh kepadaku dan bibirnya tampak gemetar. "Mungkin sudah saatnya kita lupakan hari?hari kita." Mata Nana berkedip?kedip dan basah. Mata air memancur dari sana.

Seperti tersedak, aku tidak bisa mengucapkan apa-apa. Aku juga tidak mencegah ketika Nana bangkit dan berlari lalu menghilang di balik bukit?bukit kecil yang ditumbuhi pohon?pohon hijau di pantai itu. Sampai matahari benar-benar tenggelam dan langit menjadi gelap. Sampai pantai itu menjadi sepi.
Aku hanya bisa berharap, mudah?mudahan ia berpikir jernih atas keputusannya. Sehingga tidak perlu ada air mata yang terus menetes.

 * * * * *

"Aku harus pergi jauh. Aku tidak bisa menolak," suara Mita serak. Ia ingin menangis, tetapi segera aku cegah. Sebuah perpisahan tidak harus ditangisi. Apakah perpisahan tempat, waktu. Juga perpisahan karena kematian.

"Hidup harus dibangun dengan tiang-tiang yang kokoh, bukan dengan airmata," ujarku, seperti seorang bijak. Entahlah, apakah aku berpura-pura bijak. Atau memang ke-bijak-an itu memang dipunyai setiap orang, tergantung bagaimana orang menggunakan dan menempatkannya.

Sebenarnya aku sangat mengharapkan gadis itu terus mewarnai hari?hariku. Setelah nama-nama lain pergi, termasuk Nana. Mita telah membikin hari-hariku kembali bergairah. Di matanya selalu aku temukan sebuah kolam, tempat aku berenang membuang penat dan kegelisahan.

Mita adalah seorang gadis yang muncul dari balik sejarah: ia lahir di sebuah kota besar, Jakarta. Lalu entah bagaimana terdampar ke sini sebagai seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi swasta. Sebuah pilihan yang sempat kupertanyakan: bukankah sangat banyak kampus di kotanya yang hebat-hebat, kenapa harus di kota ini?

Tapi, hingga kini ia tidak bisa memberi jawaban yang pasti: Mungkin sang Waktu ingin mempertemukan kita. Selalu itu jawaban Mita. Selalu itu. Tidak ada yang lain. Apakah memang Tuhan sengaja mengirimkan gadis cantik ini untukku? Tetapi kenapa kehadirannya sangat sebentar? Sekarang aku harus bersiap-siap untuk melepaskannya untuk kembali pulang.

Kami berkenalan dalam sebuah acara diskusi. Ia sangat menarik. Ke mana?mana selalu membawa ransel. Isinya buku-buku, pakaian, juga perlengkapan ibadah. Entah mengapa kami menjadi akrab. Bahkan sangat akrab. Orang-orang menganggap kami sepasang kekasih, tetapi kami tidak pernah membuat komitmen apa-apa. "Suatu waktu, apabila aku kembali datang ke sini, apakah kau akan tetap menerimaku sebagaimana adanya?"
"Tidak ada alasan bagiku untuk menolakmu. Aku sangat...," kata-kataku tertahan oleh jari manisnya yang tiba?tiba menyentuh bibirku sebagai isyarat untuk tidak melanjutkan kalimatku. Aku paham, ia mengerti maksud kata?kataku meskipun kata-kata itu belum sempurna kuucapkan.

"Kamu tetap menerimaku meskipun pada satu waktu aku menyakitimu?"
"Tidak ada yang menyakitiku. Apalagi kau."
"Berjanjilah kau akan menerima dan memaafkanku bila suatu waktu membuat kesalahan dan menyakitimu."
"Ya aku berjanji aku akan tetap menerimamu."
"Kini hatiku lega. Tetapi sebelum pergi, aku ingin memberi tanda mata untukmu," katanya. Kemudian tangannya meraba tas di sampingnya.
Aku menebak?nebak apa isi tanda mata yang akan diberikan. Bukukah? Karena ia tahu aku gemar membaca. Penakah? Karena ia tahu aku senang menulis. Atau sebuah puisi? Sebab ia paham aku seorang yang romantis.
Betapa aku tercengang ketika yang dikeluarkan dari dalam tas itu adalah sebuah benda berbentuk senjata. "Apa itu?"
"Pistol."
"Pistol?
"Ya."
"Untuk apa?"
"Untuk kamu berjaga?jaga."
"Berjaga-jaga? Aku tidak mengerti."
"Ya, berjaga-jaga. Kalau ada orang yang akan menembakmu, dahului dengan menembaknya. Lebih baik menembak daripada ditembak," kata?katanya tegas, menusuk, seperti peluru yang bakal keluar dari pistol itu.
"Aku tidak membutuhkan ini. Aku bisa menjaga diri dengan caraku sendiri."
"Suatu saat kau membutuhkannya."
Dengan gemetar aku terima pistol itu dan segera aku sembunyikan di balik bajuku. Matahari seolah gemetar. Air laut seolah berhenti beriak. Aku larut dalam pikiranku: Mau kuapakan pistol ini. Kalau orang, atau aparat keamanan, tahu aku membawa bawa pistol, bisa-bisa aku dituduh macam-macam. Aku bisa habis.
Dua hari kemudian, tempat kostku digeledah. Aku pun dibawa, karena memiliki senjata tanpa izin. Aku dituduh teroris. Aku pasrah. Tak bisa berbuat apa?apa. Karena memang secara sah dan menyakinkan aku memiliki dan menyimpan pistol itu. Pemberian Mita.

* * * * *

Apakah kenangan harus selalu dikenang? Setelah tahun berganti tahun, apa gunanya lagi sebuah kenangan. Haruskah aku mengenang perjalanan dengan seorang gadis bernama Nana, yang tak pernah mengerti aku? Mestikah aku mengingat kembali kenangan bersama Mita, yang telah menjerumuskanku dalam ruang interogasi, meskipun tidak sampai lama karena tuduhan mereka sebagai bagian dari kelompok teroris itu tidak terbukti?

Apa arti sebuah kenangan, bila itu makin membuat kita terpenjara dan merana, bahkan mati. Kematian yang lebih dahsyat dari kematian yang sesungguhnya: terperosok dalam sumur yang membikin sakit dan nyeri. Karena itu, pertemuanku yang serba kebetulan dengan Nana dan Mita, dalam waktu dan tempat berbeda, adalah pertemuan yang biasa-biasa saja.

Tidak ada yang istimewa. Aku telah lupakan sikap Nana yang pergi dariku karena dibakar cemburu. Aku sudah kuburkan perbuatan Mita yang melemparkanku ke sebuah ruang gelap interogasi. Peristiwa?peristiwa itu telah kuanggap tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi dalam diriku, juga tidak pernah dilakukan oleh kedua gadis itu. Dengan begitulah aku tidak merasa sakit. Bisa memaafkan. Juga bangkit.

Sawangan, Oktober 2002
 

Kembali ke Index>>>

Untuk Menyelesaikan Konflik Aceh
Belajarlah dari Snouch Hurgronje 
(28/10/2002)

Seminar
Budaya Melayu-Aceh
(25/10/2002)

Sekretariat PUSMA
Jalan T. Nyak Arief No. 314 Darussalam Banda Aceh, Indonesia, Telp. 0651-54558 

Email: pusma@lycos.com