SOSOK:
Aceh Adalah Rumah Bagi Siti Zainon
ACEH itu adalah rumah bagi Prof Siti Zainon Ismail, penyair dan pelukis dari Malaysia. Datang ke Aceh, ia seperti masuk ke rumah sendiri. Keakrabannya dengan Aceh begitu erat dan kuat.
Hampir seluruh pelosok tanah Serambi Mekkah sudah ia jejaki dengan perasaan suka cita. Pergaulannya dengan alam Aceh kemudian melahirkan banyak gagasan dan inspirasi bagi puisi, cerita pendek, dan
karya-karya sketsanya. Ia pun banyak menuliskan catatan mengenai Aceh di berbagai publikasi.
Di Tanah Aceh pula Siti Zainon melangsungkan pernikahan dengan Harry Aveling, sastrawan Australia. Upacara pernikahan dibalut dalam tatacara Aceh di Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Aceh Jalan Prof Majid Ibrahim. Ketika itu, Prof Ali Hasjmy dan sejumlah petua adat Aceh lainnya hadir menyaksikan acara khidmat itu.
Di Tanah ini pula, Siti Zainon dianugerahi gelar Cut Nyak Fakinah yang disematkan oleh Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA). Dalam bidang akademis, Siti Zainon diangkat sebagai dosen luar biasa pada Universitas Jabal Ghafur, Sigli.
Perkenalannya dengan Aceh takkkan pernah lekang lagi. Prof Ali Hasjmy semasa hidupnya pernah berpesan kepada Siti Zainon Ismail untuk melanjutkan "keakraban" itu dan secara terus menerus melakukan hubungan dengan Aceh. Lalu dengan segenap kemampuannya, Siti Zaion pun mengekalkan tekadnya untuk menjaga amanah almarhum Hasjmy, yang sangat dihormatinya.
****************
ACEH itu ibarat sebuah "legenda" dan buku yang harus terus dibaca. Ruang baca untuk Aceh harus tetap terbuka dan dibuka, sehingga semua
orang --siapa saja-- bisa membacanya.
Siti Zainon Ismail, ingin menjadikan Aceh sebagai buku yang terbuka itu. Untuk itu, ia acap
bolak-balik Malaysia-Aceh untuk mewujudkan impiannya.
"Sebagai sebuah buku, Aceh belum habis kita baca. Dan masih banyak
rahasia-rahasia lain yang tersembunyi dibaliknya," kata Siti Zainon dalam sebuah percakapan dengan
Serambi di Kuala Lumpur belum lama ini. Itulah sebabnya,
bersama-sama dengan koleganya, cendikiawan Aceh Prof Darwis A Soelaiman mendirikan Pusat Studi Melayu Aceh
(PUSMA) yang berkedudukan di Banda Aceh.
Kajian-kajian akademis mengenai Aceh belum banyak dilakukan. Termasuk kajian mengenai hubungan Aceh dengan Melayu. Kalau pun ada, kajian mengenai hubungan kedua bangsa serumpun tersebut, itu dilakukan
bertahun-tahun silam. Tapi hampir sulit ditemukan adanya kajian terkini mengenai
Melayu-Aceh.
Banyak hal yang dapat ditemukan kesamaan-kesamaan antara Aceh dengan Melayu, bukan sekadar hubungan Putri Pahang dengan Iskandar Muda. Melainkan hubungan yang sangat dekat dalam soal kebudayaan. Ini belum termasuk banyaknya
"batu-batu" Aceh dalam bentuk nisan yang ditemukan di Johor dan berbagai kawasan lainnya di tanah semenanjung.
"Di Malaysia ada Kampung Aceh. Di Aceh ada kampung Kedah," katanya memberi contoh mengenai "kedekatan" yang sangat kuat tersebut. Siti yakin bahwa masih banyak
kedekatan-kedekatan lain yang belum diungkap secara akademis.
Oleh karena itu, ia berharap melalui lembaga PUSMA,
kajian-kajian tersebut bisa dilakukan secara periodik oleh para akademisi dari
masing-masing daerah.
Salah satu bukti dari usaha tersebut adalah rencana seminar kajian Budaya
Melayu-Aceh yang dilaksanakan di Banda Aceh, 25
Oktober-27 Oktober yang menghadirikan
pembicara-pembicara dari Aceh dan Malaysia.
Pembicara yang hadir antara lain Prof Tan Seri Ismail Husein yang membahas "Aceh dan Dunia Melayu. Pembicara lain Dr Ahmad Kamal Abdullah (Kemala) dengan kertas kerja,
Budaya Melayu Aceh dalam Bahasa dan Sastra, serta Prof Siti Zainon Ismail sendiri dengan makalah
Warisan Budaya Melayu-Aceh. Prof Dr Zakaria Ali akan membahas tentang
Nilai-nilai Budaya Dalam Batu Nisan Aceh. Pembicara lain akademisi dan praktisi dari Aceh.
****************
Perkenalan Siti Zainon dengan Aceh sesungguhnya sudah dimulai ketika ia masih berusia 10 tahun. Ketika itu, ayah tirinya, sering berpesan untuk suatu ketika mengunjungi suatu daerah yang namanya Meureudu, Pidie dll. Bahkan adiknya
diberi nama Meureuduwati.
Belakangan baru tahu, bahwa yang dimaksud oleh ayah tirinya tentang Meureudu adalah kawasan yang berada di Kabupaten Pidie. Sang ayah tiri Zainon memang berdarah Pidie yang sudah turun temurun bermukim di negeri semenanjung Malaysia.
Maka bisa dibayangkan betapa berbunganya perasaan ketika suatu saat, impian menjejakkan kaki di tanah Aceh itu
benar-benar terwujud. Tanah yang kemudian memberinya begitu banyak inspirasi, dan disusul amanah almarhum Hasjmy agar "tetap menjaga Aceh."
Namun Siti Zainon tak kuasa menyembunyikan perasaan masygulnya ketika tanah Aceh terluka oleh pertikaian dan konflik yang berlangsung berpuluh tahun. Hatinya teriris, pilu. Sebagai penyair dan pelukis, ia tumpahkan kepedihan itu dalam puisi, cerita pendek, dan
sketsa-sketsa.
Renungannya tentang Aceh ia tumpahkan pula dalam bentuk kertas kerja berjudul "Nyala Acheh" yang membahas karya?karya penyair Aceh dalam kaitannya dengan konflik di negeri itu.
Lahir di Gombak, Selangor, Darul Ehsan, Kuala Lumpur, 18 Desember 1949. Pernah kuliah di Akademi Seni Rupa (ASRI) Jogjakarta (sarjana muda, 1974), dan sarjana sastra di University Kebangsaan Malaysia. Siti Zainon Ismail termasuk penyair yang tersohor di Nusantara. Telah melahirkan begitu banyak buku puisi. Puisi?puisi itu kemudian dibacakan di banyak tempat di berbagai negara. Di antaranya Jerman, Korea Selatan, Thailand, London, dan Indonesia.
Puisi-puisinya pun diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Bulgaria, Hindi, Urdu, Jepun, Thai,
Perancis, Rusia, dan Korea.
Sebagai pelukis, ia pun melakukan serangkaian pameran di berbagai kota dan negara, termasuk Indonesia. Kajian ilmiahnya diterbitkan berjudul Getaran Jalur dan Warna (Fajar Bakti, 1985), Rekabentuk Kraftangan Melayu Tradisi (DBP, 1986), Lambang Saru Gamelan Trengganu (bersama Harun Mat Piah, UKM 1986) dll.
Mendapat berbagai hadiah dan penghargaan SEA Write Award (1989), Jubli Perak Sultan Selangor (1986), Anugerah Seni Negara (1996?1999), dan sebagainya.
"Kayu Bersurat" adalah salah satu cerita pendeknya yang mengambil setting Aceh, serta Kruuuuu Semangat, puisinya yang sangat kental Aceh. Siti Zainon Ismail dipuji sebagai sastrawan sangat produktif. Hampir tak ada celah luang bagi dirinya, selain untuk puisi dan sketsa. Imajinasinya terus bergerak kemana saja. Tak ada yang bisa menghentikan.
*****************
MALAM di Kuala Lumpur sudah agak larut. Udara berangsur lebih dingin. Tapi Siti Zainon tetap saja bersemangat dan energik. "Ayo kita melihat Kuala Lumpur," ajaknya. Ia pun mengemudikan KIA?nya dengan lincah. Menyusur jalanan di bawah lampu mercuri yang terang benderang.
Meski kelihatan agak letih, tapi Siti Zainon tak merasa jemu. Ia terus saja menceritakan tentang banyak hal, termasuk sisi?sisi lain dari Kuala Lumpur yang dinilainya sudah kelewatan.
Antara lain, kehidupan malam yang bebas atau julang
gedung-gedung pencakarlangit yang menutupi langit hijau.
Ia juga menyinggung galeri yang dikelolanya. Galeri kecil yang menyimpan
karya-karya lukisnya serta sejumlah benda budaya dari Aceh.
Sayang sekali, Serambi tak sempat singgah ke galeri yang oleh banyak teman dilukiskan begitu
eksotis.(Serambi Indonesia,
24/10/2002).
Baca Artikel Lain:
Sitti Zainon: Mengawinkan Puisi dan Sketsa
(Republika,
24/01/2000)
Kembali
ke Index>>>
|