Menyambut Organisasi Seniman Aceh-Jakarta
Seniman Aceh di Jakarta memasuki fase baru berkesenian. Sebuah forum seniman telah terbentuk di Cisarua, Bogor, 6 Juli lalu. Namanya, Perhimpunan Seniman Aceh-Jakarta. Lembaga ini cukup ramping, dengan lima presidium, seorang direktur eksekutif, dan empat staf pelaksana. Cukup ramping, khas organisasi modern.
Di jajaran presidium, peserta forum Lokakarya dan Pertemuan Seniman Aceh se-Jabotabek 2002 itu memilih Wiratmadinata, Ridwansyah, Ihwan Manggeng, Kardy Syaid, dan Fikar W. Eda. Untuk menduduki jabatan direktur eksekutif, forum memilih Agus Nuramal. Direktur eksekutif kemudian akan memilih empat staf pelaksana.
Organisasi ini adalah salah satu rekomendasi pertemuan seniman yang berlangsung 5-7 Juli itu. Rekomendasi lainnya, yang harus dilakukan oleh forum ini, adalah membangun pusat kesenian Aceh di Jakarta, menerbitkan media jaringan, melakukan pelatihan manajemen dan skill seniman Aceh.
Selanjutnya, menggali kembali nilai-nilai filosofi dalam seni tradisi Aceh melalui senimar, kajian ilmiah, riset, diskusi, dan lain-lain. Terakhir menyiapkan kalender kesenian Aceh. Kalender ini merujuk moment-moment historis di Aceh, semisal peringatan-peringatan yang ada hubungan dengan sejarah Aceh.
Tentu, dalam kaitan dengan kalender kesenian ini, bukan itu saja yang harus dilakukan oleh organisasi ini. Organisasi perlu merumuskan agenda kongkrit lainnya yang bertolak dari action plan yang direkomendasikan forum pertemuan seniman. Agenda itu harus berkesinambungan, priodikal, dan jedanya tidak terlalu lama. Itu untuk menghindari turunnya semangat aktor-aktor pelaksana di perhimpunan itu.
Namun, kegiatan yang dilakukan harus tetap bertolak dari tingkat urgensinya. Dengan demikian prioritas menjadi sangat penting. Karena itu, penyusunan agenda itu mesti melibatkan pikiran-pikiran di luar struktur. Dengan kata lain, agenda kerja tidak diputuskan oleh beberapa orang saja.
Untuk ini, dalam waktu sangat dekat ini, perlu diadakan rapat kerja organisasi ini. Selain presidium dan pengurus harian, rapat kerja ini perlu mengundang beberapa orang yang dianggap bisa memberi kontribusi untuk itu, yang dianggap bisa menjadi representasi peserta pertemuan seniman di Cisarua itu.
Rapat kerja ini menjadi keharusan sebuah organisasi setiap tahun. Dalam organisasi yang sudah lama, rapat kerja itu adalah evaluasi hasil kerja sebelumnya dan penyusunan agenda ke depan. Namun dalam organisasi baru, yang dilakukan adalah menyusun program kerja riil selama satu priode, biasanya satu tahun. Setelah program itu berjalan, nanti akan ada evaluasi rutin, mungkin tiga bulan sekali, sesuai kesepakatan.
Selain itu, untuk tahap awal dalam waktu tidak berselang lama, mesti ada sebuah kegiatan kesenian, apa pun bentuknya. Ini, pertimbangan praktis, untuk lebih merekatkan silaturrahmi antar anggota-anggota forum itu seniman Aceh yang berada di Jakarta dan sekitarnya.
Mengutip istilah orang Aceh, supaya mereka tidak leupie, agar mereka terus bersemangat dan menyadari benar bahwa ada sebuah organisasi tempat mereka berkumpul dan mencurahkan gagasan untuk memajukan iklim kesenian. Selain itu, perlu pula dipikirkan sebuah tempat yang representatif, menjadi pusat kegiatan forum ini. Tempat ini bisa dipakai pula sebagai tempat kumpul-kumpul seniman, sesekali waktu.
Tetapi tampaknya adal hal lain yang bakal mengganjal, yakni dukungan finansial agar roda organisasi ini bisa berjalan baik dan melakukan kegiatan-kegiatannya. Di sinilah tantangan bagi untuk tokoh-tokoh Aceh yang berduit untuk turun tangan, terutama mereka yang berada di Jakarta.
Bisa saja memang organisasi ini mendapatkan dukungan finansial untuk operasional dan kegiatan-kegiatannya dari lembaga-lembaga donor. Tetapi apakah kita, sebagai orang Aceh, akan enak hati bila kegiatan-kegiatan yang berkait dengan kebudayaan leluhur kita lebih banyak kontribusi orang luar, ketimbang kita sendiri.
Gubernur Aceh Abdullah Puteh juga perlu turun tangan untuk memberi dukungan terhadap organisasi ini. Boleh dibilang, ini organisasi pertama di luar Aceh yang merepresentasikan semua unsur pekerja/penggiat seni dari berbagai bidang.
Selama ini, pekerja seni di Jakarta terkotak-kotak dalam sanggar-sanggar, kelompok-kelompok, tanpa ada sebuah forum yang mempertemukan mereka untuk duduk dan melakukan sesuatu secara bersama-sama untuk kesenian dan kebudayaan Aceh. Tidak heran kalau kemudian antara satu kelompok atau sanggar tidak saling mengenal dengan kelompok atau sanggar yang lain, setidaknya
Lagi pula, melihat struktur dan pengurusnya, kita sangat yakin organisasi ini bakal bisa memberi banyak kontribusi untuk memajukan sekaligus memperkenalkan kesenian Aceh di luar Aceh, khususnya Jakarta. Apalagi, kabarnya, organisasi ini juga akan merintis organisasi semacamnya di daerah-daerah lain di luar Aceh. Ini sebuah harapan yang sangat menjanjikan.
Tetapi memang, kita tidak perlu terlalu banyak berharap. Terpenting ada sebuah gairah yang muncul secara kolektif dari orang-orang yang selama ini bergerak sendiri-sendiri atau kelompoknya. Untuk sementara yang bisa kita harapkan terjalinnya komunikasi yang intens antar pekerja seni/kelompok kesenian yang selama ini terpencar-pencar.
Kesuksesan acara Lokakarya dan Pertemuan Seniman Aceh se-Jabotabek itu salah satunya bisa diukur di situ. Selama ini hampir tidak ada forum yang representatif untuk mengumpulkan seniman-seniman/pemikir-pemikir kesenian. Organisasi masyarakat Aceh di Jakarta semacam Taman Iskandar Muda mungkin tidak sempat berpikir soal ini.
Dalam forum pertemuan seniman itu memang sempat mengemuka bahwa sebenarnya organiasi sejenis pernah ada, tetapi tidak pernah berjalan. Itu karena orang-orang yang mengurusnya punya kesibukan masing-masing. Mungkin, juga diakibatkan komitmennya tidak seratus persen berbuat untuk kesenian.
Dalam organisasi Perhimpunan Seniman Aceh-Jakarta ini nanti ada presidium yang akan terus memantau kegiatan. Di atasnya ada forum pertemuan seniman yang akan meminta pertanggungjawaban.
Namun, yang belum sempat ditegaskan dalam forum pertemuan seniman di Cisarua itu adalah berapa tahun sekali akan diadakan pertemuan semacam ini. Ini penting, karena menyangkut rutinitas pergantian pengurus dan pertanggungjawabannya. Memang soal ini bisa dimasukkan dalam anggaran dasar organisasi itu.
Namun, forum pertemuan kemarin juga belum sempat membentuk sebuah tim yang akan menyusun anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART). Agaknya soal ini perlu dipikirkan. Yang jelas, penyusunan konsep dasar organisasi itu harus melibatkan representasi seniman yang ada di Jakarta, tidak hanya dilakuka oleh pengurus dan presidium.
Terakhir, kita hanya bisa mengucapkan selamat atas lahirnya organisasi ini. Kita semua siap menjadi pendorong sekaligus pengawal dan pengawas aktivitasnya.
(si/Oktober2002/mustafa ismail)
Kembali
ke Index>>>
|