Bahasa Melayu Aceh, Bahasa Melayu Riau, dan Bahasa Melayu Melaka
Oleh: Medri Osno, S.S.*
SEBELUM tanggal 28 Oktober 1928, nama bahasa Indonesia belum dikenal. Yang menjadi bahasa perhubungan atau
lingua franca di Nederlandsch Indie ( Hindia Belanda ) ialah Bahasa Melayu. Bahasa Melayu menjadi bahasa
lingua franca karena pertimbangan berikut. Pertama, letak geografisnya sangat strategis, yaitu di selat Malaka yang menjadi perhubungan dan perdagangan antara dunia Barat dan Timur, di Asia Tenggara. Kedua, bangsa Melayu dikenal sebagai perantau, pelayar, dan penjelajah
pulau-pulau.
Dalam pengembaraannya, mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Melayu sehingga bahasa Melayu dikenal di seluruh nusantara, bahkan sampai ke Madagaskar, India dan menyeberang sampai ke Tanjung Harapan Afrika. Ketiga, kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan Melayu pertama yang memakai bahasa Melayu sebagai bahasa perhubungan dan sebagai bahasa resmi kerajaan. Daerah yang menjadi koloni kerajaan Sriwijaya dengan sendirinya akan menggunakan bahasa Melayu.
Oleh karena itu, kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan Melayu pertama yang memperluas pemakaian bahasa Melayu ke seluruh pelosok nusantara. Bahasa Melayu Sriwijaya disebut bahasa Melayu Kuno. Prasasti yang memakai bahasa ini dijumpai di Kota Kapur, Karang Berahi, Kedukan Bukit, dan Talang Tuo, tahun
680-an Masehi. Perhatikanlah bahasa Melayu Kuno yang dikutip dari prasasti Kedukan Bukit yang bertarikh 604 Saka atau 682 Masehi. Prasasti ini ditranskrip dari huruf Palawa ke huruf Latin oleh Philippus Samuel van Ronkel tahun
1924.
-
Swasti cri. Cakawarsatita 604 ekadaci
cu-
-
klapaksa wulan Waicakha Dapunta Hyang naik di
-
samwau manggalap siddhayatra. Di saptami cuklapaksa
-
wulan Jyestha Dapunta Hyang marlapas dari Minanga
-
tamwan mamawa yang wala dua laksa dangan kocaą
(C.A.Mees,Tatabahasa Indonesia 1954).
Bahasa Melayu Sriwijaya dalam prasasti tersebut, sangat menarik jika dibandingkan dengan bahasa Melayu abad
ke-14. Hal ini dapat dilihat dalam penggunaan Bahasa Melayu abad
ke-14 dalam batu nisan di Minye Tujuh Aceh yang bertahun 1380 berikut.
Hijrat nabi mungstapa yang prasadha
Tujuh ratus asta puluh savarsa
Hajji catur dan dasa vara sukra
Raja Iman (varda) rahmatullahą
Prasasti itu ditemukan oleh seorang sarjana Belanda yang bernama W.F. Stutterheim. Bahasa Melayu yang tertulis pada batu nisan itu mengandung unsur bahasa Sansekerta yang telah menyerap bahasa Arab.
Setelah masa kejayaan kerajaan Sriwijaya berakhir, kerajaan Melaka mulai berjaya (abad
ke-14 s.d. abad ke-16 M). Kerajaan ini telah menjadi pusat kekuasaan, perdagangan, agama, dan ilmu pengetahuan di Asia Tenggara. Seperti halnya Sriwijaya, kerajaan Melaka telah menyebarkan Bahasa Melayu.
Perbedaannya, Sriwijaya berjaya dalam zaman
Hindu-Budha, sedangkan Melaka berjaya dengan agama Islam. Sejak saat itu bahasa Melayu banyak menyerap bahasa
Arab. Dengan demikian, kehadiran agama Islam telah mengubah tradisi tulisan mereka. Dulu, bangsa Melayu Sriwijaya memakai huruf Palawa dari India. Setelah agama Islam berkembang, pada masa kerajaan Melaka dipakailah tulisan
Arab--Melayu. Perkembangan bahasa Melayu di Melaka terjadi bersamaan dengan perkembangan bahasa
Melayu--Aceh di kerajaan Aceh.
Perkembangan bahasa
Melayu--Aceh ditandai dengan munculnya sejumlah ulama besar yang menulis syair dan kitab dalam bahasa Melayu. Malah, besar kemungkinan bahasa
Arab--Melayu dikenalkan oleh para ulama ini. Di antara mereka itu ialah Hamzah Fansuri, Syamsuddin
al-Sumatrani, dan Naruddin Arraniri. Dari ketiga ulama itu, yang paling kreatif ialah Hamzah Fansuri sehingga dijuluki sebagai pilar agung penyair Melayu, seperti yang ternukil dalam syair perahu dalam buku UU. Hamidy berikut.
Inilah gerangan suatu madah
Mengarang syair terlalu indah
Membetuli jalan tempat berpindah
Di sanalah iktikad diperbetuli sudahą.
Puisi bahasa Melayu yang telah ditulis oleh Hamzah Fansuri ini dapat kita sandingkan dengan kitab Tajussalatin (Mahkota Raja) yang ditulis oleh Buchari al Johari, di Aceh pada tahun 1603 Masehi berikut.
Bermula hikayat pada suatu hari Nabi Allah Sulaiman Alaihissalam duduk di atas tahta kerajaan. Maka datang dua orang perempuan itu
masing-masing mengatakan anaknya, diperebutkannya budak itu maka keduanya tiada nyata dakwanyaą(UU.Hamidy, Dari Bahasa Melayu Sampai ke Bahasa Indonesia)
Pada abad ke 19 dengan berjayanya kerajaan
Riau--Johor--Pahang-Lingga, bahasa Melayu semakin baik dan terpelihara. Pada zaman ini muncul penyair dan ahli bahasa yang menyempurnakan bahasa Melayu, di antaranya adalah Raja Ali Haji
(1808-1873). Raja Ali Haji telah memperlihatkan bahwa penyebaran bahasa dan sastra Melayu telah masuk ke berbagai cabang ilmu. Hal ini terlihat dalam karyanya yang bukan hanya dalam bidang karya sastra, melainkan juga bidang agama, hukum, sejarah, kamus, dan bahasa. Dalam karya tersebut,
tiap-tiap bidang saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
Ketika menulis sejarah, akan diberikan contoh dalam bentuk sastra. Begitu juga, ketika menulis tentang hukum, akan diberi contoh pengetahuan bahasa. Karya Raja Ali Haji,
Bustanul--Katibin dan Kitab Pengetahuan Bahasa, telah dijadikan acuan penyusunan tata bahasa Melayu yang kelak menjadi bahasa Indonesia. Karya Raja Ali Haji diawali dengan Gurindam Dua Belas yang sangat termasyur itu, kemudian disusul oleh
Bustanul--Katibin (1857), Thamarat al-Muhimmmah (1857) Mukaddimah fi intizam wazaif Haji
Al- Malik (1857), Kitab Pengetahuan Bahasa (1859), Silsilah Melayu dan Bugis (1865), Tuhfat
al-Nafis (1865), dan Syair Hukum Nikah (1866).
Selain itu,
penyair-penyair lain mulai bermunculan di antaranya, Abdullah Bin Abdul Kadir Munsyi yang telah dijadikan guru bahasa Melayu oleh Raffles di Singapura, Abu Muhammad Adnan, Aisyah Sulaiman, Raja Haji Kelana. Mereka mendirikan perkumpulan cendikiawan Melayu dengan nama Rusdiyah Klab.
Pada tahun 1819 berdirilah Singapura oleh Raffles.Hal ini memicu persaingan kekuasaan antara Belanda dan Inggris yang mengakibatkan terjadinya perjanjian London "celaka" pada tahun 1824.
Akibatnya, wilayah
Johor--Pahang menjadi kekuasaan Inggris, sedangkan wilayah
Riau-Lingga menjadi kekuasaan Belanda. Hal ini merupakan awal bencana terpecah dan rusaknya bahasa Melayu yang telah terbina dengan baik. Saat itu, bahasa Melayu terjadi perpecahan dan perbedaan, yaitu bahasa Melayu bagian utara (Malaysia, Singapura, dan Brunai Darussalam) dan bahasa Melayu bagian selatan (Indonesia).
Pada tahun
1799 masa kejayaan VOC berakhir. Kegiatan mereka berubah dari berdagang menjadi penjajah. Mereka memerlukan bahasa resmi untuk menjalankan roda pemerintahannya. Akhirnya, dipilihlah bahasa Melayu sebagai Bahasa resmi, di samping bahasa Belanda sebagai bahasa kelas satu. Dalam hal ini, tidak sembarang bahasa Melayu yang dipilih sebagai bahasa resmi karena pada masa itu paling kurang ada tiga bahasa Melayu.
Pertama, bahasa Melayu pasar adalah bahasa Melayu yang dipakai dalam dunia perdagangan yang telah tercambur baur dengan berbagai bahasa terutama bahasa Cina. Kedua, bahasa Melayu dialek, adalah bahasa Melayu di beberapa daerah yang pengucapannya telah dipengaruh oleh dialek daerah setempat. Ketiga, bahasa Melayu Riau, adalah bahasa yang telah terbina dan terpelihara begitu rupa di Riau . Oleh karena itu, Belanda mengambil bahasa Melayu Riau sebagai bahasa resmi kelas dua. (Umar Junus, Sejarah Kearah Perkembangan dan Bahasa Indonesia, 1965).
Bahasa Melayu telah dipakai oleh kaum pergerakan untuk melawan penjajah. Oleh karena itu, seorang pakar pendidik Belanda Dr. G.J.Nieuwenhuis mengusulkan kepada pemerintah Belanda agar menyebarluaskan pemakaian bahasa Belanda di kalangan anak negeri. Dengan angkuh, Niuewehuis menyimpulkan bahwa manfaat bahasa Belanda diajarkan kepada anak negeri seperti beberapa pertimbangan berikut.
Pertama, tak ada satu juga dari bahasa anak negeri yang dapat dipakai untuk mengajarkan ilmu pengetahuan. Kedua, bahasa Belanda merupakan suatu jalan bagi bangsa Bumiputra untuk meninggikan derajat. Mereka dapat menjabat pekerjaan yang tinggi di kalangan pemerintah. Ketiga, penyebaran bahasa Belanda dapat merapatkan perhubungan antara orang Belanda dan bangsa Bumiputra ( Sulaiman Saleh, B.A., Bahasaku Ciri Bangsaku, 1981/1982).
Kaum pergerakan tidak percaya bahwa bahasa Melayu tidak mampu dijadikan alat untuk mengajarkan ilmu pengetahuan. Mereka juga tidak yakin bahasa Belanda dapat meninggikan derajat. Bahasa Belanda tidak bertujuan untuk persatuan, tetapi lebih berkepentingan sebagai pemecah belah persatuan. Oleh karena itu, mengganti bahasa sama halnya dengan mengganti kepribadian.
Akhirnya, terjadilah kongres pada tanggal 28 Oktober 1928 yang lebih dikenal dengan kongres pemuda yang diadakan di Jakarta. Konggres itu dihadiri oleh wakil dari organisasi pemuda daerah, di antaranya Jong Sumatranend Bond, Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Minahasa, dan
lain-lain. Dalam konggres diputuskan tiga hal, yang dikenal dengan Sumpah Pemuda. Dengan demikian, gagallah bahasa Belanda sebagai bahasa persatuan. Menurut Prof. Dr. Abu Hanifa, dalam konggres itu, yang lama diperbincangkan adalah masalah bahasa.
Mula-mula, ada pihak berpendapat supaya dipakai bahasa Jawa karena sudah tertata dengan baik. Bung Karno, Ki Hajar Dewantara, dan Prof. Dr. Purbocoroko menyarankan supaya menggunakan bahasa Melayu Riau karena tidak mengenal tingkatan halus dan kasar seperti bahasa daerah lainnya di nusantara. Bahasa Melayu telah terbina dan terpelihara dengan baik dan telah dikenal oleh hampir seluruh anak negeri.
Selepas Sumpah Pemuda, bahasa Melayu yang telah berubah menjadi bahasa Indonesia terus dibina oleh para pengarang, terutama oleh Angkatan Pujangga Baru yang dipelopori Sutan Takdir Alisyabana, Amir Hamzah, dan Armin Pane. Mereka menerbitkan semacam majalah dengan nama Pujangga Baru tahun 1933. Setelah itu, perkembangan bahasa dilanjutkan oleh Angkatan 45 yang dipelopori Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia mencapai puncak perjuangan dengan dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan. Bahasa Indonesia yang semula berperan sebagai bahasa nasional telah berubah menjadi bahasa negara sebagaimana tertulis dalam UUD 45 bab XV Pasal 36 : Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.
Demikianlah sejarah panjang bahasa Melayu telah berubah menjadi bahasa Indonesia. Tentulah di kawasan lain, bahasa Melayu mempunyai sejarahnya sendiri pula (di Malaysia, Singapura, dan Brunai Darussalam). Akan tetapi, yang harus diingat adalah bahasa Melayu adalah ibu bahasa
Indonesia. Kalau ada sejarah yang berpendapat lain, dapat dikatakan
hilang jasa kapak oleh jasa ketam.
*) Staf Fungsional Balai Bahasa Banda Aceh
(Tulisan
di atas dimuat di Tabloid Kontras terbitan Banda
Aceh Edisi 30 Oktober 2000)
Kembali
ke Index>>>
|