Pengamalan Budaya Melayu-Aceh Semakin Luntur
Penulis: Syahruddin Hamzah
PEMAHAMAN terhadap tradisi Melayu-Aceh, baik di
lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat agaknya
kini semakin berkurang, sehingga sikap kepatuhan
kepada adat tradisi nyaris punah.
Secara umum dapat dikatakan bahwa nilai budi bahasa
atau budi pekerti seseorang dalam kehidupan
sehari-hari budaya Melayu-Aceh yang dulu sangat
dihargai masyarakat, kini sudah hampir tidak dikenal
atau diamalkan lagi.
"Sebenarnya, nilai-nilai tradisi Melayu-Aceh itu masih
relevan untuk dikembangkan kembali dalam kehidupan
modern sekarang," kata guru besar FKIP Unsyiah (Banda
Aceh) Prof Darwis A Soelamiman PhD dalam makalahnya
pada seminar internasional pengkajian Budaya
Melayu-Aceh, di Banda Aceh, 26-27 Oktober 2002.
Alasan lain masih relevannya mempertahankan tradisi
Melayu-Aceh itu, pertama mendukung pelaksanaan Syariat
Islam perlu dikembangkan budaya Islami, kedua perlu
dihidupkan kembali nilai-nilai Islami untuk
mengimbangi pengaruh budaya asing.
Pengaruh budaya asing kini cukup besar terhadap
kehidupan masyarakat modern sekarang, maka perlu
diimbangi dengan identitas diri yang jelas agar tidak
kehilangan akar budaya sendiri.
Upaya untuk mempertahankan jati diri, terutama budaya
Melayu-Aceh yang Islami, antara lain dapat dilakukan
melalui pendidikan nilai-nilai di sekolah dan dalam
keluarga atau memperbanyak pengkajian terhadap budaya
sendiri.
"Saya mengharapkan, pengkajian nilai-nilai budaya
Melayu-Aceh dan menjadikan sosial budaya sebagai salah
satu pendekatan dalam membangun kembali Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) yang terpuruk akibat konflik
berkepanjangan," katanya.
Darwis yang juga Ketua Pusat Studi Melayu-Aceh itu
menyebutkan, tanpa melakukan pendekatan sosial
dikhawatirkan kita terpengaruh pandangan barat yang
lebih mengutamakan sifat materialistis, pragmatis,
humanitis dan sekularistis.
Masyarakat Aceh mempunyai nilai-nilai tersendiri,
namun tetap menggambarkan ciri budaya Melayu-Aceh yang
tumbuh dalam masyarakat dan diwarisi dari generasi ke
generasi sebagai tradisi.
Pertanyaan sekarang adalah bagaimana corak nilai-nilai
budaya Melayu-Aceh asli yang telah menjadi tradisi
itu? Pertanyaan itu tidak mudah dijawab karena
masyarakat Aceh sejak zaman dahulu telah mengalami
berbagai percampuran budaya melalui proses difusi dan
akulturasi.
"Yang jelas, kebudayaan asli masyarakat Aceh tidak
dikenal lagi," katanya.
Kalaupun kebudayaan asli masyarakat Aceh adalah
kebudayaan Melayu, karena Aceh bagian dari dunia
Melayu, namun budaya Melayu-Aceh itupun sudah tidak
dapat disebutkan lagi asli karena sudah dipengaruhi
budaya Hindu, Islam dan Barat.
Tetapi perlu dipahami, Islam sangat banyak
mempengaruhi cara hidup orang Aceh sehingga
sebagaimana orang Melayu pada umumnya, orang Aceh
sering diidentik dengan orang-orang Islam Aceh.
Sebelum agama Hindu masuk ke Aceh, orang Aceh menganut
kepercayaan animisme dan dinamisme, walaupun kemudian
mendapat pengaruh Hindu, namun kepercayaan kepada
animisme dan dinamisme tetap kuat.
Menurut Darwis, yang dimaksud dengan budaya
Melayu-Aceh adalah budaya Melayu-Aceh masa lampau yang
bercirikan Islam, bukan budaya masyarakat Aceh pada
zaman modren sekarang.
Sekalipun tidak mudah, namun masih dapat dikaji
kembali nilai budaya Melayu-Aceh itu melalui
karya-karya satra rakyat, seperti pribahasa, pantun,
hikayat, dan cerita binatang yang di dalamnya banyak
mengandung nilai budaya yang sudah menjadi tradisi
dalam masyarakat Aceh.
* * * * * *
Bahasa kedua
Sementara itu, Tuanku Lucman Sinar Basarsyah-II SH
dari Universitas Sumatera (USU), Medan mengatakan,
tempo dulu, bahasa Melayu telah menjadi bahasa kedua
dan bahasa istana dan budaya Melayu juga (pengaruh
Putroe Phang).
Pada masa itu, banyak orang Malayu dari Kedah, Malaka
dan Perak pindah ke Aceh.
Dalam bahasa Aceh sendiri banyak sekali pengaruh
bahasa Melayu meskipun diucapkan dalam logat Aceh.
Tetapi biarpun sekadar logat bahas Aceh itu sendiri
sudah banyak sekali dan begitu kuat bercampur dengan
bahasa Melayu, namun bahasa Aceh boleh dikatakan satu
bahasa dari dialek Melayu.
William Mardeson, pengarang buku The History of
Sumatra ketika berada di Bengkulu pernah mengumpulkan
36 buah sample kata-kata Aceh dan hampir 75 persen
memiliki persamaan dengan bahaya Melayu.
Dengan bersatunya negeri-negeri Malayu di sepanjang
Selat Malaka dan Laut China Selatan pada masa Sultan
Iskandarmuda, maka bahasa Melayu yang menjadi lingua
franca di nusantara itu tentu saja menjadi bahasa
resmi Kerajaan Aceh Darussalam.
Ketika ajaran agama Islam bahasa Arab dan Persia
diterjemahkan dalam bahasa Malayu di Aceh dan
disebarkan ke seantero nusantara, telah masuk pengaruh
Aceh ke negeri-negeri Melayu. Persemian raja-raja
Melayu disebut dalam Sarakata dengan cap sikureung
(cap sembilan).
Pakar Pusat Pengkajian Bahasa Kesusteraan dan
Kebudayaan Malayu pada Fakultas Sains Sosial dan
Kemanusiaan Universitas Kebangsaan Malaysia, Siti
Zainon Ismail PhD UM mengatakan warisan seni budaya
melayu sudah terjalin lebih 700 tahun lalu.
Hubungan sosial-budaya kerajaan Malayu Semenanjung
dengan Kerajaan Aceh sudah terjalin sejak abad ke-11
seperti diperkirakan dalam teks sastra Hikayat Aceh,
Hikayat Pasai, Sejarah Melayu, Hikayat Hang Tuah, Misa
Malayu dan Hikayat Goembak.
Beberapa bentuk warisan budaya yang sama masih
terpelihara baik di kedua wilayah, seperti di tanah
Melayu Semenanjung peninggalan wirisan budaya seperti
batu nisan Aceh bertebaran di Kuala Pahang, Perak,
Kedah, Johor, Negeri Sembilan dan Selangor.
"Peninggalan warisan seni budaya itu membuktikan
betapa baiknya hubungan Aceh Darussalam dengan negara
serumpun Malayu," kata Siti Zainon Ismail PhD UM.
(Ant/11/2002)
Kembali
ke Index>>>
|