Takdir-takdir
Fansuri; Catatan "Gebalau" Aceh
PENGIKUT
Hamzah Fansuri dikejar, dieksekusi mati dengan
cara dilemparkan ke dalam nyala api.
Kitab‑kitab berbau wujudiyah
dilarang beredar. Ribuan salinan naskahnya dibakar
di depan Masjid Raya!
Tragis.
Tragis!
Inilah
peristiwa peradaban tragis yang terjadi di
Kerajaan Aceh Darussalam pada 1636-1641. Waktu itu
yang memegang tampuk kekuasaan adalah Sultan
Iskandar Tsani. Syaikh Al-Raniri yang dilantik
sebagai ulama istana adalah sosok penting di balik
peristiwa kekejaman tersebut. Karena ulama inilah
yang merekomendasikan pemberangusan ajaran
wujudiyah yang disebarkan oleh Syaikh Hamzah
Fansuri dan memfatwakannya sebagai ajaran sesat.
Rekaman
peristiwa tragis itu bisa ditemukan dalam kitab Bustan,
yang ditulis oleh Ar-Raniri. Selebihnya dapat
dijumpai dalam laporan perjalanan Peter Mundy,
pelancong Inggris yang berkunjung ke Aceh pada
1638, yang melukiskan
kejadian itu begitu kejam.
Hamzah
Fansuri adalah seorang ulama dan sastrawan besar
Nusantara. Tapi nama besar itu tak tertera dalam
riwayat Aceh. Ia disingkirkan. Karakternya
dimatikan.
Abdul
Hadi WM dalam kajian hermeneuitik terhadap karya-karya
Fansuri "Tasawuf yang Tertindas,"
memberi gambaran begitu jelas kepada kita mengenai
kedudukan tokoh ini. Sebagai sastrwan, pengaruhnya
sangat besar dalam penulisan sastra Melayu. Ia
juga ulama besar dan pemimpin tasawuf terpenting
di Nusantara.
Tapi
Fansuri harus menemui takdirnya yang tragik. Ia
diburu. Pengikutnya diburu. Ajarannya difatwa
sesat. Bukunya dibakar di depan masjid. Ya, di
depan masjid
Raya! (Aksi pembakaran buku terus
berlanjut sampai zaman kini!)
Pengikutnya dicampakkan ke dalam kobaran
api. (Pembakaran manusia juga tetap berlangsung
hingga kini).
Ada
apa ini? Ada apa?
Tapi
takdir Fansuri tidak hanya sampai di situ. Karena
sejarah yang kelam selanjutnya mencatat takdir-takdir
yang lain dari "Fansuri-fansuri" yang
lain pula, dalam berbagai salinaan wajah,
"peristiwa Cumbok, Darul Islam, PKI,
DOM," sampai kepada peristiwa-peristiwa
mutakhir detik ini. Rakyat - sesama Aceh - menjadi
korban dari semua tindak itu. Korban Cumbok,
adalah Aceh. DI/TII juga Aceh. PKI dan DOM juga
memakan korban Aceh (baca: sipil) dan seterusnya.
Ini belum termasuk korban penyelewengan bantuan
banjir, korban permainan valas, korban kolusi,
korban sistem pemerintahan yang korup dan
sebagainya. Betapa sebetulnya,
"Fansuri-fansuri" (baca; korban) dalam
bentuk lain menemukan takdirnya sendiri-sendiri,
yang ironinya dilakukan oleh tangan mereka
sendiri.
Boleh
jadi, tragedi kemanusiaan dan tragedi intelektual
seperti itu, telah terjadi jauh sebelum abad 16.
Namun yang menjadikan tragedi Fansuri
fenomenal, karena tidak hanya berlatar
belakang perbedaan faham, melainkan menyembul
aroma intrik politik yang berdimensi pada
kekuasaan.
Pada
masa itu, Fansuri berseberangan dengan kekuasaan.
Ia melontarkan kritik-kritiknya. Di samping itu,
masyarakat pada zaman itu mengalami kekeringan
keruhanian.
Pemahaman
seperti inilah yang menjadi benang merah dari buku
"Takdir‑takdir Fansuri,"
diterbitkan Dewan Kesenian Banda Aceh (DKB, 2002,
256 halaman).
Nirwan
Dewanto, yang mengantarkan buku ini, menyatakan
bahwa, "Takdir‑takdir Fansuri"
mencoba memandang masa lampau daerah muasal
sebagai penuh masalah, paradoks, dan ironi.
"Lara masa kini tak bisa hanya tersebabkan
kuasa dari luar, tapi juga pengingkaran atas
setimbun luka dan keliru yang dibuat
sendiri‑sendiri," tulis Nirwan, yang
juga Ketua Redaksi Jurnal Kebudayaan Kalam yang
juga aktivis Teater Utan Kayu dan Yayasan Lontar
Jakarta.
Buku
ini memuat 24
buah esei hasil suntingan Muhklis A Hamid dan AA
Manggeng Putra (editor). Segera saja dapat
ditangkap adalah beragamnya persoalan melingkupi
Aceh, tidak hanya terbatas persoalan antara
Aceh denganpusat, yang disebut Azhari --
anak muda berbakat -- hubungan
pusat dengan 'kampung-kampung' sebagai
satelit yang membuahkan penindasan-penindasan.
Persoalan
dalam Aceh, kata Ahm Fauzan, dalam "Robohnya
Sejarah Kami," terdapat kecendrungan
melupakan sejarahnya sendiri. Kasus peruntuhan
gedung tua di kawasan Kampus Darussalam hanya
sebagai pembanding, bagaimana sebetulnya, kita
tidak memberi penghargaan yang layak bagi
"wajah sendiri." Meskipun Sahlan
Hanafiah dalam "Sejarah Abadi Kami,"
memperingatkan tak perlu memberi ratapan bagi
bangunan‑bangunan tua, sebab masih ada hal
lain yang butuh ratapan.
Gugatan
lain dilontarkan TA Dadek. Ditujukan kepada Dewan
Kesenian Aceh (DKA). Birokrat dari Aceh Barat ini
menilai, DKA sebagai lembaga kesenian,
memposisikan dirinya sentralistik
dengan idiom‑idiom kekuasaannya. Dan
banyak lagi letupan-letupan lain yang digugat oleh
para penulis-penulis Aceh dalam
"Takdir-takdir Fansuri."
Buku
ini, satu dari sedikit buku yang berisi esei
tentang Aceh. Selama ini, penulis-penulis dan
pemikir kebudayaan di Aceh lebih banyak
menumpahkan kreativitas menulisnya pada
halaman-halaman surat kabar dengan ruang yang
terbatas. Karenanya, sangat dihargai lahirnya
"Takdir Fansuri," yang merangkum catatan
tentang gebalau Aceh yang belum jelas kapan
berakhirnya. (SI/fikar w.eda)
Kembali
ke Index>>>
|